Anak dan Korupsi (5-Habis): Jangan Sampai Mampet

Ade Sulaeman

Editor

Anak dan Korupsi (5-Habis): Jangan Sampai Mampet
Anak dan Korupsi (5-Habis): Jangan Sampai Mampet

Berikut ini bagian kelima (terakhir) dari artikel berjudul “Menyemai Nilai Anti Korupsi di Usia Dini” yang diterbitkan di Majalah Intisari edisi Mei 2004.

--

Intisari-Online.com - Ada tiga tingkatan anak menerima pelajaran, termasuk di dalamnya nilai-nilai antikorupsi, yaitu tingkatan perasaan, tingkatan ungkapan, dan tingkatan pemahaman.

Pada tingkatan perasaan, anak akan mendengarkan saja semua pelajaran yang diberikan kepadanya. Anak seperti ini seolah-olah merupakan anak yang patuh, tidak membuat resah orangtua.

Sementara pada tingkatan pemahaman, anak akan memperhatikan berbagai cara orang memberikan pelajaran. Anak mampu membedakan perintah yang perlu diturut atau dibantah. Anak mampu mengeluarkan pendapat hasil olah pikirnya.

Dengan kelima panca inderanya, mereka juga mampu mengolah pelajaran bukan hanya yang diberikan, melainkan juga yang mereka dapat sendiri melalui pengalaman sehari-hari.

Lain lagi dengan anak yang menerima pelajaran pada tingkatan ungkapan. Mereka umumnya memperhatikan cara orangtua atau guru memberikan pelajaran dan mencari tahu makna dari pelajaran itu.

Anak seperti ini tidak akan tinggal diam bila yang dipelajari dan dirasakannya tidak sama.

Orang dewasa sering kewalahan dengan anak model ini, yang terkesan selalu melawan. Misalnya, ketika dia harus belajar dan tidak boleh menonton televisi, orangtuanya malah memelototi TV dengan asyiknya.

Pelajaran itu masuk dalam konsep pengetahuan si anak, bahwa perintah yang dikeluarkan ternyata tidak berlaku bagi si pembuat keputusan.

Di usia dini, proses pembelajaran lewat teladan dan fragmen-fragmen untuk menyelipkan nilai-nilai tertentu (termasuk antikorupsi tentunya) bertujuan mengoptimalkan fungsi otak.

Hati-hati, jika optimalisasi fungsi otak ini tak lagi berjalan sempurna, anak berpotensi kehilangan semangat untuk berpikir. Selanjutnya, mereka mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar.

Jika kesulitan belajar sampai membuat anak merasa terhina, malu, kalah, atau cemas, bukan tak mungkin mereka akan menyembunyikannya di bagian tertentu dalam kehidupan mereka dan menyusun langkah pertahanan strategis untuk menutupinya.

Ibarat saluran air dijubeli sampah, anak pun mampet. (Dra. Hj. Nurlaila N.Q. dan Mei Tientje, M.Pd. Anggota Forum PADU Pusat, Diknas, di Jakarta / Intisari edisi Mei 2004)