Agar Anak Berani Berpendapat (3-selesai) : Orangtua Harus Siap Menerima Koreksi

Birgitta Ajeng

Editor

Agar Anak Berani Berpendapat (3-selesai) : Orangtua Harus Siap Menerima Koreksi
Agar Anak Berani Berpendapat (3-selesai) : Orangtua Harus Siap Menerima Koreksi

Intisari-Online.com -Menurut sosiolog Prof. Dr. Sarjono Jatiman, dalam kehidupan keluarga modern dan demokratis, dituntut adanya pola komunikasi baru sebagai sarana interaksi antara orang tua dan anak. Setiap keluarga bisa memanfaatkan situasi yang unik, baik di meja makan, ketika nonton televisi.atau suasana lain yang bisa dikembangkan, agar terjadi komunikasi antara anggota keluarga.Iklim dialogis dan keterbukaan perlu diciptakan di lingkungan keluarga. Ini diharapkan menjadi upaya mempersiapkan anak-anak untuk bisa berkomunikasi, sehingga mereka terlatih untuk bisa menerima dan mendengarkan orang lain.Kondisi ini harus didukung dengan kesiapan orangtua menerima koreksi dari anak. Misalnya, jika anak mulai menunjukkan sikap protes, bukan berarti anak kurang ajar atau menentang orangtua, melainkan merupakan ekspresi keinginannya untuk diperhatikan dan dihargai.Sebab itu, orang tua demokratis perlu mendengarkan keluhan anak dan menghargai pendapatnya. Namun tindakan yang tidak dianjurkan adalah melakukan penekanan terhadap anak untuk mengungkapkan emosi dan perasaannya. Sebab, sikap orangtua dalam menghadapi sesuatu akan berpengaruh terhadap sikap anak.Keberanian bertanya dan mengemukakan pendapat sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, harus dimulai dari keluarga. Bila seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang otoriter, kemungkinan ia tidak cukup berani bertanya dan berpendapat. Meski demikian, sekolah juga memiliki peluang untuk mendorong anak berani mengemukakan pendapat. Itu sangat tergantung pada kurikulum dan cara mengajarnya.Namun, ada kecenderungan spontanitas untuk berkreasi belum berkembang karena guru dibebani harus begini dan begitu. Padahal, otak kiri dan kanan harus berkembang secara seimbang. Anak seharusnya tidak hanya disuruh belajar dan menghafal, tetapi dirangsang kreativitasnya agar mampu menemukan sesuatu.Sistem pengajaran di Indonesia, paling tidak menurut Melani Budianta, Ph.D. dari Universitas Indonesia, cenderung mengarahkan pada penguasaan teori dengan cara menghafal. Target pengajaran masih bertumpu pada penyampaian materi, sementara tentang bagaimana cara belajar dan memecahkan persoalan, justru terabaikan.Karena tidak memberi peluang lebar bagi terciptanya komunikasi dialogis, keterbukaan, penalaran kritis dan berekspresi, maka sistem pengajaran tersebut dapat menghambat tumbuhnya jiwa demokratis anak didik.-selesai-