Advertorial
Intisari-Online.com - Siapa sih, yang tidak gugup saat pertama kali harus berhadapan dan melebur di dalam keluarga besar dari pasangan kita? Salah bertingkah, dampaknya bisa panjang bertahun-tahun.
Banyak orang meyakini, menikah itu bukan hanya menyatukan dua pribadi, melainkan juga dua keluarga. Kadang malah dua kampung sekaligus.
Akibatnya pasangan pengantin baru sebagai newcomer dalam keluarga pasangannya masingmasing, akan menjadi sorotan, mulai ujung rambut sampai ujung kaki. Nah, bayangkan jika yang harus bersatu adalah dua keluarga besuaaar dengan segala pernak-perniknya.
Saat menghadapi situasi seperti ini, kita baru akan dapat merasakan salah satu manfaat dari fase penjajakan dalam hubungan pranikah.
Pada masa inilah seseorang dapat mengenali sekaligus mengantisipasi situasisituasi yang mungkin terjadi saat harus melebur dalam sebuah keluarga besar.
Misalnya, mengantisipasi saat harus berhubungan dengan Tante A yang penyayang tapi sekaligus “penuh perhatian” (baca: mau tahu segala urusan). Atau Om B yang dituakan tapi selalu ingin dihormati berlebihan. Semua ada triknya masing-masing.
Sekali lagi, perkawinan memang menyatukan dua keluarga, plus segala karakteristiknya. Dan memang di sinilah tantangannya.
Latar belakang setiap keluarga yang berbeda dalam banyak hal: pendidikan, gaya hidup, nilai, kebiasaan, dan ekspektasi; membuat setiap pasangan harus mampu beradaptasi.
Perbedaan dari setiap keluarga itu tercermin, misalnya, dalam pola pendidikan anak, menghadapi momen kelahiran, ekspektasi mertua terhadap cucu, aturan berhari raya, gaya menghabiskan waktu, sikap terhadap keuangan, kewajiban mengunjungi keluarga atau kerabat, dll.
Jika tak pandai-pandai mengelola segala perbedaan ini, biasanya muncul benturan-benturan yang bahkan berpotensi menjadi problem rumah tangga nantinya.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari Ekstra September 2013 dengan judul asli “Melebur Dalam Keluarga Tanpa Hancur”. Ditulis oleh Rusman Nurjaman.