Advertorial
Intisari-Online.com - Wajar saja jika beraneka ragam kondisi di dalam keluarga akan membuat sebagian pasangan menjadi “agak tegang”.
Rima Olivia, psikolog keluarga di Jakarta, menuturkan, kondisi tersebut bisa dipicu beberapa faktor. Salah satunya, karena terdapat perbedaan tajam dalam gaya hidup tiap-tiap orang.
Begini penjelasannya. Ada keluarga yang sangat memperhatikan tata krama atau tata cara bertingkah laku. Misalnya, mertua yang terampil di dapur akan menggetarkan hati menantu yang bahkan tidak bisa membedakan antara laos dan jahe.
Atau, menantu yang selalu bangun tidur pukul 08.00, bakal rikuh berhadapan dengan mertua yang sejak jam 05.00 sudah beres-beres dan berolahraga.
Bahkan, lanjut Rima, ada pasangan yang selalu “siaga satu” dalam menghadapi mertua atau keluarga masing-masing. Bisa jadi latar belakangnya karena mereka pernah punya pengalaman dari keluarga masing-masing yang kurang menyenangkan.
Akhirnya, sekadar perhatian atau pendekatan dari keluarga yang wajar saja bisa diartikan sebagai bentuk intervensi. “Semua yang dilakukan mertua dianggap sebagai campur tangan dan tidak diterima dengan baik,” jelas Rima.
Tentu saja segala benturan yang muncul saat menjalin hubungan dengan pihak keluarga pasangan bukan tanpa risiko. Rima menyebut setidaknya dua risiko.
Secara internal (dalam diri sendiri) ada konflik batin, yakni ingin meneruskan gaya hidup yang lama, namun dia tahu bahwa fase kehidupan menuntut perubahan.
Sedangkan secara interpersonal, muncul konflik dengan pasangan atau keluarganya yang jelas-jelas berbeda cara hidup, pengasuhan, nilai, pendidikan, dan mungkin sosial ekonomi.
--
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Intisari Ekstra September 2013 dengan judul asli “Melebur Dalam Keluarga Tanpa Hancur”. Ditulis oleh Rusman Nurjaman.