Intisari-Online.com - Dulu, satu-satunya cara untuk menentukan awal Ramadan dan Lebaran adalah dengan melihat bulan dengan mata telanjang. Tapi pakem itu seolah berubah setelah berkembangnya ilmu astronomi dan matematika. Oleh orang Islam, ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk kepentingan penentuan awal Ramadhan dan Lebaran. Inilah uniknya fenomena menghitung bulan dalam menetapkan lebaran.
Sebagian hanya memanfaatkan ilmuilmu tersebut untuk membantu mempermudah pelaksanaan rukyat hilal, dengan cara mencari data ketinggian dan arah hilal serta mengancang-ancang berapa lama hilal berada di atas horizon setelah matahari terbenam. Kelompok ini dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan tetap berpegang pada hasil rukyat. Artinya, walaupun hilal menurut perhitungan sudah mungkin dapat dilihat, tapi dalam kenyataannya tidak seorang pun dapat melihatnya, maka , awal atau akhir Ramadhan ditetapkan lusanya, bukan keesokan harinya.
Sebagian lainnya memandang bahwa perhitungan yang akurat dapat dijadikan penentu awal dan akhir Ramadhan. Kelompok ini tidak lagi melakukan rukyat untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Kelompok ini paling melakukan “rukyat” untuk melakukan penelitian dalam rangka mengecek dan menyempurnakan data dan sistem perhitungan mereka.
Data dan sistem perhitungan bulan yang berkembang dan dipergunakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang masih berbeda-beda. Ada yang masih mempergunakan data dan sistem yang dikembangkan pada abad ke-15 M, dengan data tetap dan koreksi yang sederhana, sementara sudah ada pula yang mempergunakan data kontemporer yang diambil dari lembaga-lembaga astronomi intemasional dengan perhitungan matematika mutakhir.
Sudah barang tentu, hasil dari data dan sistem yang berbeda-beda ini akan memperoleh hasil yang berbeda pula, yang pada suatu waktu dapat menghasilkan kesimpulan yang berbeda, seperti tahun 1992 dan 1993, Lebaran tahun 1994, juga Lebaran-lebaran di tahun setelahnya.
Perbedaan hasil rukyat dan perhitungan
Dengan adanya bermacam-macam sistem penentuan awal dan akhir Ramadhan seperti di atas, baik sistem dalam rukyat hilal maupun dalam perhitungan alias hisab, kemungkinan adanya perbedaan akan sangat besar. Kemungkinan perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh adanya perbedaan antara hasil rukyat dan hasil perhitungan, namun juga karena perbedaan intern dalam sistem rukyat atau intern sistem perhitungan itu sendiri.
Kita ambil contoh perbedaan Lebaran tahun 1993. Di kalangan ahli perhitungan itu sendiri ada dua macam. Pertama perhitungan yang mempergunakan data dan metode kontemporer, seperti perhitungan yang dikemukakan oleh ITB, Planetarium Jakarta, Badan Meteorologi & Geofisika, dan beberapa ormas Islam. Perhitungan ini menyatakan bahwa pada hari Selasa, 23 Maret 1993 bertepatan dengan tanggal 29 Ramadhan 1413 H, bulan masih di bawah ufuk, tidak mungkin terlihat. Sementara perhitungan yang bersumber pada tabel astronomis Sultan Ulugh Beyk Assamarqandi (wafat 1438 M - yang masih banyak pemakainya di Indonesia) menyatakan bahwa pada hari itu bulan sudah di atas ufuk.
Dalam kenyataannya, pada hari Selasa tersebut, ada beberapa orang yang melaporkan telah melihat bulan. Laporan tersebut diterima oleh satu pihak namun ditolak oleh pihak lainnya. Alasan yang menerima hasil rukyat adalah bahwa laporan tersebut sesuai dengan hasil perhitungan menurut tabel Ulugh Beyk, sementara yang menolak beralasan bahwa laporan itu tidak sesuai dengan hasil perhitungan kontemporer dan ilmu pengetahuan modern.
Yang menolak tidak saja terdiri atas ahli perhitungan, namun juga terdapat dari kalangan yang berpegang kepada rukyat, yaitu yang tidak mempercayai kebenaran laporan tersebut. Demikian pula yang menerima, tidak saja terdiri atas ahli rukyat, namun juga ada kelompok yang dapat dikategorikan sebagai ahli perhitungan. Jadi masalahnya semakin kompleks.
Dalam rangka menjaga kesatuan dan kemantapan ibadah, Departemen Agama nampaknya sejak dahulu telah berusaha menyatukan sistem-sistem yang berbeda. Pada 1972, Menteri Agama Prof. Dr. H. Mukti Ali membentuk Badan Hisab Rukyat yang para anggotanya terdiri atas unsur pejabat Departemen Agama, MUI, Ormas Islam, Badan Meteorologi & Geofisika, Planetarium Jakarta, ITB, IAIN, instansi terkait, dan perorangan yang ahli. Tugas badan ini adalah untuk memberi saran kepada Menteri Agama dalam penentuan awal bulan Islam. Sampai sekarang badan ini masih aktif bekerja dan dalam prakteknya berfungsi sebagai forum komunikasi dalam rangka penyatuan penetapan waktu-waktu ibadah.
Lebih jauh dari itu, sejak tahun 1989, telah dirintis adanya penyerasian rukyat dan takwim Islam di antara negara Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kegiatan ini telah berjalan dengan melakukan rukyat bersama, tukar-menukar data perhitungan dan hasil rukyat.
Artikel ini pernah dimuat di Intisari Februari 1994 dengan judul "Menghitung Bulan Menetapkan Lebaran".
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR