Jadi bisa dibayangkan jika sabong berjalan 5 - 6 jam, berapa banyak ayam yang mati dan menjadi ayam goreng.
Memang itu nasib jago-jago yang mati. Di sudut colloseum seorang anak usia belasan tahun bertugas memanasi air dan mencabuti bulu-bulunya.
Sementara di sudut yang lain berjajar rumah makan yang siap menggorengnya. Jika jam istirahat tiba, mungkin ayam yang tadi dijagokan para petaruh dan kalah, malah disantap.
Istri berkarier, suami nganggur
Di sebelah tempat pembersihan bulu ayam juga ada kamar operasi. Di situ ada dokter hewan atau mantri hewan yang praktek bagi ayam-ayam yang terluka. Sejauh masih bisa ditolong, ayam-ayam itu dijahit lukanya.
Caranya menjahit memang unik: dengan benang dan jarum jahit biasa. Ayam yang terluka ditaruh di pangkuan sang empunya. Berapa ongkosnya? Tergantung besar-kecilnya luka. Tapi minimal 25 peso (± Rp 2.000,-).
Baca juga: Pelaku Penembakan Las Vegas: Saya Berjudi Sepanjang Malam dan Tidur Sepanjang Hari
Tidak jauh dari kamar operasi ada ruang khusus yang tertutup untuk umum. Hanya pemilik ayam yang boleh masuk karena di situ pisau taji dipasang. Pisau-pisau itu tertata rapi di dalam tas khusus, seperti tas bedah di rumah sakit.
Di situ pemilik ayam membayar ongkos sewa dan pasangnya. Karena sudah membayar sewa dan pasang itulah, pemilik ayam bebas dari kewajiban membayar karcis masuk arena (termasuk para botoh juga harus membayar) sebesar 30 peso.
Para petaruh dan penonton sabong memang sebagian besar laki-laki. Konon sabong dan minum merupakan bagian dari kehidupan kaum lelaki di Filipina. Cuma ada akibat negatifnya: kaum pria jadi tak semaju lawan jenisnya.
Banyak suami yang tak bekerja, sementara sang istri berkarier. (J.C. Tukiman Tarana – Intisari Agustus 1994)
Baca juga: Saat Kartu Remi Bukan Menjadi Alat untuk Berjudi, Tapi Sarana untuk Bertransaksi
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR