Selain itu juri memeriksa apakah pisau runcing dan tajam yang dipasang di kaki kiri sang jago sudah terpasang baik atau belum. Ayam-ayam itu juga diberi tanda pita yang berbeda warna, satu merah dan lainnya hijau.
Arena yang tadinya ramai oleh ributnya para petaruh, mendadak senyap begitu kedua ayam saling bertarung. Ayam itu saling menghajar, sampai salah satu terkena pisau yang tajam.
Walaupun si ayam terkapar, tetapi kalau juri mengangkatnya dan mendekatkan kedua ayam itu dan si terluka masih berani mematuk lawannya, maka pertarungan tetap diteruskan.
Ingar bingar penonton merebak jika masih ada perlawanan. Namun, jika tak ada perlawanan lagi kedua ayam diangkat tinggi-tinggi. Sekali lagi keduanya disuruh saling mematuk.
Yang dianggap menang disuruh mematuk pertama kali, setelah itu ayam yang sudah terkulai diberi kesempatan. Penonton yang menang bertaruh segera berteriak gembira menyambut kemenangan jagonya.
Baca juga: Kalah Judi 67 Miliar, Wanita Indonesia ini Bikin Suami Bulenya Bangkrut dan Jatuh Miskin
Lalu jagonya dibawa ke luar arena dan pertunjukan lain tersaji: petaruh yang kalah menyerahkan uangnya kepada petaruh yang menang. Caranya? Uang dilipat-lipat atau digulung, lalu dilempar. Kalau botoh menang, dari luar ring uang berdatangan.
Sebaliknya, kalau botoh kalah, dialah yang melemparkan uang taruhan ke arah petaruh yang menang.
Semuanya berlangsung dengan sportif. Baik yang menang maupun yang kalah harus memenuhi transaksi yang telah disepakati sebelumnya. Tak ada yang menunda pembayaran atau menyelinap pergi karena kalah.
Padahal, penonton ratusan jumlahnya dan mungkin di antara para petaruh tersebut baru bertemu saat itu.
Dalam waktu kurang dari satu jam, sepuluh pasang ayam jago sudah saling beradu. Hanya 60% saja yang masih hidup, sebab jago yang kalah umumnya mati seketika karena hatinya robek atau lehernya hampir putus terkena pisau lawan.
Baca juga: Suami Gemar Mabuk dan Berjudi, Berhakkah Istri untuk Menceraikan?
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR