Orang Udik Masuk Tipi

M Sholekhudin

Editor

Orang Udik Masuk Tipi
Orang Udik Masuk Tipi

Beberapa waktu lalu saya memenangi lomba menulis yang diselenggarakan oleh Kementerian Pertanian. Juara satu untuk kategori peliputan wartawan. Sebelumnya saya sudah beberapa kali memenangi lomba menulis. Tapi menang kali ini sedikit berbeda dari biasanya sebab acara pemberian penghargaan dilakukan di studio TVRI, Senayan.

Bersama saya hadir para pemenang dari kategori lain: fotografer, mahasiswa, pelajar, dan pembuat video. Manajer program di TVRI bilang, para pemenang akan berdialog dengan Menteri Pertanian di acara Bincang Malam. Pembawa acaranya Charles Bonar Sirait.

Seorang pemenang kategori pelajar berasal dari salah satu kabupaten Jawa Tengah. Ia datang ke Jakarta diantar oleh keluarganya. Saya menggoda dan memanas-manasi agar dia segera menelepon kerabatnya di kampung supaya menonton TVRI. Dia termakan oleh bujukan saya dan kemudian menelepon ke rumah. "Kalau tidak ada channel-nya ya dicari," katanya lewat hape. Mudah dipahami, bagi orang-orang kampung, masuk tivi adalah sebuah pengalaman yang layak diceritakan. Apalagi ini masuk tivi berdialog dengan menteri sebagai pemenang lomba. Tentu sangat membanggakan.

Tapi menjelang syuting, manajer program memberitahu, acara tidak jadi disiarkan langsung (live). Saya membayangkan, keluarga pengantar di Jawa Tengah tadi sudah gelisah berjam-jam menunggu di depan tivi. Mungkin mereka sudah berkali-kali mengirim SMS, kapan acara ditayangkan. Mungkin mereka juga sudah mengumpulkan para kerabat untuk menonton TVRI. Sebagian di antara mereka mungkin sudah tidak sabar, "Kapan nih acaranya?"

Saya sendiri tidak memberi tahu siapa-siapa. Teman kantor, keluarga di rumah, bahkan istri saya pun tidak saya beri tahu. Saya bukan bukan tipe orang yang suka tampil. Saya senang mendapat hadiah. Tapi saya tak begitu menikmati acara seremonial macam ini. Sampai acara syuting selesai, manajer program tidak memberi tahu kapan rekaman akan ditayangkan. Dari jadwal acara di situs TVRI, saya mendapat informasi program Bincang Malam ditayangkan esok malamnya. Tapi saya tak tahu persis jam berapa wajah kami akan muncul di tivi.

Esok malamnya saya menunggu di depan tivi, mulai jam tujuh malam. Jam sembilan acara dialog baru mulai disiarkan. Saya menonton tivi sendirian. Tetap tidak ada satu pun orang yang saya beri tahu. Satu-satunya orang yang ingin saya beri tahu adalah istri saya. Tapi saat itu ia sudah tidur kecapekan. Saya merasa kasihan jika harus membangunkannya karena ia sedang hamil muda dan butuh istirahat.

Rupanya, saat itu salah satu sepupu saya yang tinggal di Surabaya menonton acara tersebut. Ia mengetahui acara itu pukul 22.00, saat acara sudah berlangsung sekitar satu jam. Begitu ia melihat saya di tivi, dia langsung menelepon keluarga di kampung saya di Lamongan, Jawa Timur. Dan yang terjadi setelah itu adalah kehebohan. Di kampung, orang-orang biasa tidur sehabis sholat isya, sekitar pukul 20.00. Mereka ditelepon pukul 22.00. Begitu menerima telepon dari Surabaya, mereka saling membangunkan untuk menonton saya di tivi. Benar-benar heboh.

Esok paginya berita saya masuk tivi ini langsung menyebar di kampung. Mereka yang baru menerima kabar di pagi hari mengirim protes kepada saya lewat SMS: kok tidak bilang-bilang. Istri saya juga protes: kok tidak dibangunkan. Alasan kasihan tidak dia terima. Saya akhirnya menghibur dia dengan mengajaknya jalan-jalan dan membeli es krim : )

Saya tidak menyangka mereka akan begitu kecewa karena tidak saya beri tahu. Rupanya, bagi mereka, masuk tivi seperti peristiwa berangkat haji ke Tanah Suci. Semua kerabat harus diberi tahu. Padahal saya menganggap masuk tivi seperti pergi ke Tanah Abang atau Pasar Baru saja. Saya akan mengajak istri saya jika dia tidak sedang kecapekan. Tapi saya merasa tidak perlu sampai memberi tahu kerabat saya pada saat mereka sedang tidur. Tapi itu adalah pendapat saya. Pendapat orang-orang kampung justru sebaliknya.