Beberapa bulan yang lalu, saya dan teman-teman SMU mengadakan reuni. Meski reuni seperti ini hampir setiap tahun diselenggarakan, bagi saya hari itu adalah "sebenar-benarnya" reuni yang pernah ada. Saya sangat suka dengan kesederhanaan suasana yang membuat keadaan justru lebih mendukung dalam menghangatkan tungku persahabatan kami yang telah dingin. Kami memilih sebuah cafe, atau mungkin lebih mirip warung jajan dengan konsep bilik-bilik bambu dan diterangi temaramnya sinar lilin. Jika menoleh ke kanan dari tempat saya lesehan, kita akan melihat air kolam renang yang beriak halus dan berkilauan. Di Ciputat, jauh dari kebisingan Jakarta, kami berbagi cerita satu sama lain.Hm ... seperti biasa, yang pertama-tama meramaikan obrolan kami adalah pertanyaan dan tentunya jawaban tentang kabar terbaru di antara kita. Kalau dicermati secara saksama, tidak ada perubahan yang signifikan dari teman-teman saya ini. Tapi, secara umum mereka mulai menunjukkan spesifikasi dari disiplin ilmunya masing-masing. Saya enggan berpanjang lebar tentang hal ini, karena memang tidak terlalu perlu.
Yang sangat menyentil kenangan saya adalah ketika obrolan bergeser ke tema "Dapoer Potjie." Sebuah tempat ketika hampir separuh kehidupan SMU kami lalui dan habiskan di situ. Tempatnya di stasiun kereta api Sudimara (Jombang, Tangerang Selatan). Berangkat sekolah Dapoer Potjie, pulang sekolah pun juga harus Dapoer Potjie. Dapoer Potjie adalah "Rumah Kita." Mendengarkan musik lewat VCD player, pesan kopi hitam, cokelat, susu, dan teh lemon selalu disertai biskuit renyah dan kayu manis sebagai gantinya sendok untuk mengaduk minuman. Mantap ..."Biar lebih harum," ujar Bang Joel saya masih ingat.Bang Joel ini pemilik Dapoer Potjie bersama kongsinya, Bang Cepi. Lain dengan Bang Cepi yang sekaligus berprofesi sebagai guru bahasa Inggris honorer di sebuah SD di kawasan Serpong, Bang Joel adalah seniman "jalanan" yang hobi melukis sketsa wajah tokoh-tokoh dunia dan kehidupan sosial sehari-hari. Kabarnya, karya-karya yang telah ia hasilkan telah banyak yang terjual, walaupun saya tak pernah menanyakan berapa jumlah nominalnya secara persis. Tapi, dengan melihat karya-karyanya yang banyak dipajang di dinding-dinding kayu Dapoer Potjie (misal, Einsten, Soekarno, dan kondisi Betawi zaman kolonial), saya yakin sekali dia bukan seniman amatir.
Keduanya masih sangat muda. Berusia sekitar 25-an. Dari Bang Joel, kami banyak berdiskusi tentang agama selepas Shalat di Mushalla Stasiun. Oleh Bang Cepi, kami belajar berdialog bahasa Inggris dan cara menghibur orang. Bang Joel pendiam, Bang Cepi sebaliknya. Tapi, keduanya menyenangkan bagi putih abu-abu kami. Kekosongan ide dan gagasan yang jarang kami dapatkan dari rutinitas sekolah seolah terisi oleh mereka. Dapoer Potjie hampir berjarak 10 km dari sekolah kami (SMAN 29 di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan). Namun, di sini kami mampu menumpahkan segala apresiasi kami di segala bidang kehidupan.
Kami bergabung dengan orang-orang dari berbagai macam rupa. Ada orang-orang kantoran, anak band, pedagang asongan, sampai pengamen kereta yang sering terselip cabe di giginya setelah makan siang. Dapoer Potjie adalah ruang kelas yang benar-benar mentransformasikan kami dari manusia menjadi lebih "manusia." Di ruang-ruang kelas buatan pemerintah yang ber-AC, kami "dijauhkan" dari apa yang seharusnya kami lihat. Kami melihat orang kelaparan dari angka statistik buku sekolah, yang selanjutnya kami biarkan buku itu tertinggal di kolong meja. Pemahaman agama kami hanya dinilai dengan hafalan-hafalan do'a. Ilmu-ilmu sosial diajarkan secara praktis dengan LKS-LKS butut itu, tanpa kami pernah mengerti, mengapa ada teman kami yang bolos, berpesta seks, punya geng, serta terlibat tawuran berdarah.
Kami hanya diajarkan. Jarang sekali dipahami bahwa kami adalah manusia yang sedang mempelajari sesuatu. Jalan kami untuk tahu dinodai oleh berbagai macam hal. Kepentingan oknum dan sistem yang rusak. Ini membuat kami menjadi manusia yang lulus sebagai "manusia tak tuntas!" Karena itu, kami menelusuri bumi Tuhan ini untuk menemukan kelas-kelas yang dapat mengerti kami. Yang dengan lapang dada menerima segala ekspresi pribadi atau kelompok kami apa adanya. Tempat yang rela menunjukkan secara nyata, jawaban-jawaban pilihan ganda di sekolah. Sampai pada tahap kehidupan ke depan, hanya di Dapoer Potjie tempat jiwa dan raga putih abu-abu kami bergembira. Meskipun kini, tak ada lagi Bang Joel dan Bang Cepi kami lihat di Stasiun Sudimara. Rindu kami pada kalian, Bang! Syair Dapoer Potjie Pikiranku melayang ke masa laluTerbayang keceriaan masa ituTak pernah terucap tanya dalam benakku'Tuk jalani hidupmu ini penuh bahagia
Masa sekolah yang penuh kesenanganBersama kawan satukan bahagiaPulang sore pukul lima satu tujuanDuduk dengan kopi hangat di Waroeng Potjie
Oh, indahnya ... masa ituTakkan terulang ...Suasana sore indah di Waroeng Potjie
Waroeng Potjie pukul limaPenuh cerita melantunkan kitaWaroeng Potjie pukul limaMunculkan lagi, harapanku ... ke masa lalu
(Syair ini kami ciptakan setelah lulus SMU ketika menemukan Waroeng Potjie tidak lagi kami jumpai di Stasiun Sudimara. Hanya rumput yang bergoyang ... )
[Foto Kenangan di Dapoer Potjie bersama teman-teman SMU dan Bang Joel (Jongkok, kedua dari kiri). Bang Cepi yang mengambil gambar ini.]