Melek Internet Secara Swadaya

Agus Surono

Editor

Melek Internet Secara Swadaya
Melek Internet Secara Swadaya

INTISARI ONLINE - Seperti pisau, Internet memiliki sisi positif dan negatif. Tergantung mana yang akan kita kembangkan. Di Patehan, sisi negatif Internet diakali dengan keterbukaan.Kampung yang terletak tak jauh dari objek wisata Tamansari ini memang benar-benar tipikal kampung. Jalanan sempit, rumah kecil saling berimpitan, tak menyisakan pekarangan. Namun semua warganya melek Internet. Melalui dunia maya ini, sosok kampung mulai merambah ke dunia global. Menurut Marco, turis asal Jerman, kampung ini sangat unik. Selama berkunjung ke beberapa kota di Indonesia, Marco tak menemukan kampung seperti Patehan ini. Mural yang mencerminkan meleknya warga akan Internet bertebaran di sana-sini.Adalah A. Heri Sutanto, ketua RT 36 RW 9 Taman, Kampung Patehan yang memelopori itu semua. Heri, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sehari-hari bekerja sebagai staf Laboratorium Komputer Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Ia menawarkan program Internetisasi di kampungnya tahun 2008. Dia yakin industri rumahan di kampungnya akan terangkat jika dipasarkan lewat Internet. Sayang, karena internet masih mahal banyak warga yang tak tertarik dengan gagasan itu.Berkat kegigihan Heri, beberapa orang mulai tertarik. Mula-mula sekadar bisa chatting dengan orang lain yang berbeda tempat. Sampai akhirnya, Juni 2009 program Internetisasi terwujud, dengan pilihan layanan koneksi kabel. Biaya koneksi yang mencapai Rp 700 ribu per bulan disokong beramai-ramai. Setiap keluarga hanya dibebani biaya Rp 40 ribu per bulan. Dengan uang segitu, warga bisa menikmati akses Internet tanpa batas hingga kecepatan 1 Mbps di rumah masing-masing.Untuk mengurangi dampak negatif Internet seperti mengakses situs pornografi, Heri menetapkan aturan agar warga menaruh perangkat pengakses Internet di ruang tamu. Saat instalasi sendiri Heri sudah memasang program antipornografi di setiap komputer. Heri juga menaruh seperangkat komputer di pos ronda. Selain perangkat itu, di pos yang disebut Cyber Cakruk (cakruk = dangau atau rumah kecil yang biasa dipakai sebagai pos ronda) juga ditaruh buku dan majalah soal Internet.Dari hanya bisa chatting, warga belajar bikin blog. Waktu itu belum ngetop Facebook sehingga layanan yang dipakai Multiply. Sekarang blog mereka sudah pindah ke situs http://rt36kampoengcyber.com. Selain buat nampang, blog ini menjadi ajang memasarkan produk kerajinan tangan mereka. Meski awalnya tak memperoleh sambutan, lama kelamaan Internet menjadi ajang promosi yang efektif. Tak hanya barang, keahlian pun bisa dijual melalui Internet. Koko yang bekerja sebagai desainer grafis mengalami peningkatan omzet setelah mejeng di Internet. Bahkan dukun pijat di kampung itu pun bisa terkenal dan dicari orang. "Padahal rumahnya di gang sempit," kata Heri.Masih banyak gagasan yang ingin diwujudkan Kampung Patehan. Semuanya memanfaatkan Internet. Seperti angkringan atau usaha tempat makan berinternet. Heri dan pengurus kampung sendiri sedang merancang pemasangan kamera CCTV untuk memantau keamanan kampung secara real time.Imbas lainnya adalah Kampung Patehan mulai dilirik wisatawan. Mereka yang plesiran ke objek wisata Tamansari biasanya juga meluangkan waktu berkunjung ke Kampung Cyber. "Dulu kampung kami sama sekali tak pernah ditengok," ucap Heri. Semoga upaya Heri ini memberi inspirasi kota atau kampung lainnya. (Sumber: Intisari September 2011)