Belajar dari Pak Syaf

Agus Surono

Editor

Belajar dari Pak Syaf
Belajar dari Pak Syaf

Intisari-Online.com - Membaca tulisan Opini "Tragedi Pak Sjaf dan Etika Pejabat"dari Akmal Nasery Basral, sosiolog dan penulis novel Presiden Prawiranegara, di harian Kompas,ada hal yang bisa kita ambil sebagai inspirasi hidup. Ya, gaya hidup sederhana dan tidak mau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan sendiri. Suatu hal yang langka di masa kini.Dalam opini itu, Akmal menyoroti tiga tindakan yang patut diteladani oleh kita, khususnya parapejabat negeri ini. Pertama, saat lelaki kelahiran Anyar Kidul, Banten, ituditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Ketika itu,dalam usia 35 tahun, ia dianugerahi Tuhan anak ketiga: Chalid Prawiranegara. Meski berstatus menteri, namun kondisi keuangan keluarga Prawinegara tak seperti menteri saat ini. Bayangkan saja, untuk membeli kain gurita bagi bayi Chalid saja tidak mampu.Untungnya, Lily - nama panggilan Tengku Halimah,istri Pak Sjaf - tak kehilangan akal. Seperti dikutip Ajip Rosidi dalambiografi tentang Pak Sjaf, Lebih Takut kepada Allah SWT(1985), Lilymenyobek kain kasur untuk dijadikan gurita bayi.Peristiwa kedua terjadi ketika Agresi Militer II Belanda, 19 Desember 1948.Pak Sjaf yang saat itu Menteri Kemakmuran sudah sebulan bertugas diBukittinggi atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta. Patut diingat,waktu itu yang disebut daerah republik hanya tiga tempat: Yogyakarta,Bukittinggi, dan Kutaraja (kini Banda Aceh). Daerah lain sudah bergabung kedalam Bijeenkomst Federaal Overleg/Musyawarah Negara Federal bentukanVan Mook. Awalnya Hatta menjamin kepada Lily bahwa Pak Sjaf hanya akanbertugas sekitar satu pekan. Kenyataannya lebih dari sepekan.Tak banyak diketahui publik bahwa sepeninggal Pak Syaf, seperti pengakuan AisyahPrawiranegara, putri sulung Pak Sjaf, Lily sebagai istri menterimemilih berjualan sukun goreng untuk menghidupi keluarganya ketimbangterima bantuan, misalnya ”titipan keju” dari Merle Cochran (diplomat AS,Ketua Komisi Tiga Negara) yang disampaikan para ibu menteri non-PDRI.Peristiwa ketiga terjadi setelah Perjanjian Roem-Roijen (Mei 1949) yangmembuat kubu republik terpecah dua kelompok: kubu Tracee Bangka, sebutanbagi tahanan politik di Bangka yang bersedia berunding dengan Belandamelalui Mohammad Roem, dan kubu PDRI dengan dukungan Panglima Besar APRILetnan Jenderal Sudirman yang menolak Perjanjian Roem-Roijen. Di tengah kecamuk perebutan kekuasaan itu, Pak Syaf bersedia mengembalikan mandatkepada Soekarno-Hatta ”untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatanIndonesia serta demi persatuan nasional atas dasar rida Allah”. Argumentasiitu membuat Natsir menangis dan anggota kubu PDRI cair hatinya.Semoga moral Pak Syaf kembali bergema di tengah carut marutnya persoalan bangsa saat ini.