Intisari-Online.com - Salah satu organ tubuh yang rentan terkena bahaya rokok adalah jantung. Bahkan hasil penelitian menunjukan bahwa rokok menyumbang 15 persen faktor risiko penyakit jantung.
Ketika penyakit tersebut menyerang, yang sering muncul adalah rasa penyesalan.
Seperti penuturan seorang rekan saya tentang sahabatnya yang beberapa waktu yang lalu meninggal dunia. Rekan saya mengenal sahabatnya tersebut ketika sama-sama berada di organisasi pecinta alam sebuah perguruan tinggi.
Dia mengenang sahabatnya sebagai orang yang jenaka, suka menjahili orang, dan “rajanya” nyela kawan-kawan di organisasi. Umurnya sama, tahun ini menginjak awal 50 tahun. Salah hal lagi yang dikenang adalah kebiasaan merokok sahabatnya tersebut. Dalam satu hari 5 bungkus rokok bisa dihabiskannya.
Beberapa waktu lalu rekan saya mengunjungi sahabatnya tersebut, yang tergolek lemah di sebuah rumah sakit jantung. Sejak tahun 2003, berbagai alat pacu jantung pernah dipakai sejak dokter memvonisnya memiliki penyakit jantung.
Kedatangan rekan saya disambut senyum dan tawa sang sahabat. Saat itu juga rekan saya mendengar cerita bahwa uang yang dihabiskan sahabatnya untuk membuat jantungnya tetap berfungsi sudah hampir mencapai Rp 2 miliar. Maklum, sekali pasang alat pacu jantung Rp 80 juta harus dikeluarkan. Itu belum termasuk biaya rawat inap dan obat-obatan yang harus ditebus.
Sang sahabat berharap tidak ada lagi manusia yang mengidap penyakit yang (menurut istilah sang sahabat) “mahal” tersebut. Selain itu, dia berujar bahwa seharusnya harga rokok dibuat semahal mungkin. Sehingga, hanya orang kaya yang dapat merokok, dan tentunya menderita “penyakit mahal” tersebut.
Hari Minggu 5/2/2012, rekan saya mendapat kabar bahwa sahabatnya tersebut telah meninggal dunia. Tentu saja karena penyakit jantungnya.
Ah, kalau memang tidak bisa dilarang, harusnya rokok dihargai sangat mahal. Kalau perlu dilengkapi asuransi yang berguna ketika bahayanya mulai menggerogoti kesehatan penghisapnya.