Intisari-Online.com - Sebuah petang menjelang malam di sebuah rumah makan di dalam mal. Saya tanpa sengaja mendengar omongan dari meja sebelah. Kebetulan di situ duduk sebuah keluarga muda. Ayah-ibu dan dua orang anak yang masih kecil, usia SD menurut perkiraanku.
"Pa, harga henpon berapa?"
"Kenapa Dik?”
“Adik mau beli henpon Pa. Kira-kira uang tabungan Adik cukup enggak ya?”
“Lo, buat apa Adik mau beli henpon?”
“Biar Adik tidak bengong kalau menunggu makanan datang. Papa main iPad, Mama main BB (Blackberry - Red.), kakak main henpon. Adik juga mau dong Pa,” tutur jujur si anak kecil itu.
Deg! Saya terkesiap dan seakan memandang diri sendiri. Saya terkadang memang memainkan ponsel sembari menunggu makanan. Pemandangan seperti itu pun mulai jamak sekarang. Terlebih di kalangan anak muda atau pekerja kantoran. Saat makan siang, bisa saja mereka duduk bareng makan, namun tak ada obrolan berarti di antara mereka. Masing-masing asyik dengan perangkat mobile mereka.
Merebaknya situs jejaring sosial tak pelak mengubah hubungan sosialisasi manusia. Anekdot yang bilang bahwa “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” seperti memperoleh pembenaran.
Perhatikan apa yang orang lakukan saat tiba di sebuah lokasi. Jika tidak memotret dan menyebarkan ke jaringan pertemanannya, mereka akan memperbarui status mereka atau check in di lokasi tersebut. Setelah itu mereka akan tenggelam dengan lalu lintas komunikasi yang terjadi di antara masing-masing jejaringnya. Tentu tak semua melakukan hal seperti itu. Namun tindakan-tindakan seperti di atas amat mudah kita sua.
Omongan lugas anak kecil tadi seperti mengingatkan kita untuk bisa menguasai “jejaring sosial”. Bukan sebaliknya. Bukankah orang yang akan menolong pertama kali ketika kita mengalami musibah adalah orang yang sosoknya hadir di dekat kita? Bukan mereka yang “dekat di gadget namun jauh di sekitar kita.”