Tulikah Hati Kita?

Agus Surono

Penulis

Tulikah Hati Kita?
Tulikah Hati Kita?

Intisari-Online.com - Saya tidak memperhatikan sejak kapan anak berkebutuhan khusus itu menjadi semacam "Pak Ogah" yang mengatur arus lalu lintas di sebuah perempatan di Permata Hijau, Senayan, Jakarta Selatan. Dengan peluit dan tongkat ala kadarnya, ia mencoba mengurai kemacetan yang sering terjadi di pagi hari saat jam kerja.

Kehadiran anak itu tentu tak lantas membuat lalu lintas lancar. Terkadang malah menjadi kacau dengan bunyi klakson yang merasa "hak" lewatnya dihentikan begitu saja. Padahal sudah ada lampu lalu lintas.

Perempatan itu melintasi rel KA dan di sisi kiri kanan rel itu ada jalan searah yang ramai. Jalan yang melintasi rel itu pada jam kerja (pukul 07.00 - 10.00) dibuat searah untuk mengurai kemacetan. Sementara, sesuai dengan aturan dan rambu yang ada, hanya ada satu jalan di sisi rel yang boleh melintasi rel. Jalan yang tak boleh harus memutar sejauh kurang lebih dua kilometer. Nah, berhubung jauh itu dan entah sejak kapan bermula, rambu tak boleh berbelok itu dilanggar untuk memutar.

Yang membuat kemacetan, beberapa pengendara motor nekat melintasi rel kereta bukan untuk memutar tapi menuju ke jalan satu arah. Nah, di sudut perempatan yang seharusnya motor tak boleh masuk itulah si anak berkebutuhan khusus itu mengatur lalu lintas. Setiap ada pengendara motor yang nekat mau menerobos overboden, ia mengusir sambil menunjuk tanda dilarang masuk itu.

Saya sering memperhatikan, banyak pengendara motor yang tak acuh dengan himbauan tadi. Si anak itu pun tetap berteriak-teriak sambil menunjuk ke rambu. Suaranya tak jelas karena memang ia memiliki kelemahan dalam hal berkata-kata.

Tulikah hati kita? Saya sendiri melanggar aturan itu meski anak itu tak menegurku. Bisa jadi karena aku naik sepeda. Pun begitu, saya tetap merasa bersalah dan tak menerobos jalur overboden. Sedikit memutar sambil sesekali menengok ke si anak yang berkebutuhan khusus itu melakukan rutinitas pagi hari.