Intisari-Online.com – Ada sebuah legenda yang bertutur tentang penyikapan kita terhadap suatu pemberian. Bagaimana penerimaan dengan hati akan menempatkan pemberian itu lebih dari sebuah barang.
Alkisah, seorang pemuda menjelajahi gurun dan menemukan air yang sebening kristal. Begitu dicecap, air itu terasa begitu manis. Pemuda itu lalu mengisi kantung kulitnya untuk gurunya saat ia kembali. Setelah perjalanan empat hari, ia memberikan air itu untuk gurunya yang kemudian meminumnya. Sang guru tersenyum hangat dan berterima kasih kepada muridnya untuk air manis itu. Pemuda itu kembali ke desanya dengan senang hati.
Air itu masih bersisa dan guru mempersilakan murid lain untuk mencicipinya. Namun, apa yang terjadi? Banyak yang setelah mencecap air itu lalu memuntahkannya kembali. “Guru, air itu sudah busuk. Mengapa Anda berpura-pura seperti itu?”
Sang guru menjawab, ”Kalian hanya mencicipi air. Saya mencicipi hadiah. Air itu hanyalah wadah untuk tindakan cinta kasih dan tidak ada yang lebih manis dari itu.”
Pelajaran terbaik dari cerita itu adalah ketika kita menerima hadiah, hargailah itu dan ungkapkan rasa syukur telah diberi hadiah. Bisa jadi itu hanya sebuah nampan keramik atau gelang imitasi.
Syukur tidak selalu datang secara spontan. Sayangnya, kebanyakan anak-anak dan orang dewasa hanya menghargai apa yang diberikan daripada perasaan yang terkandung di dalamnya. Kita harus mengingatkan diri kita sendiri dan mengajarkan anak-anak kita tentang keindahan dan kemurnian perasaan dan ungkapan terima kasih. Setelah semua, hadiah dari hati benar-benar karunia hati yang terdalam. (*)