Intisari-Online.com – Ini adalah kisah yang sangat mengharukan seorang ibu dua anak, Yeremia, dan Yakub, yang berumur enam dan empat tahun.
Hari itu hari Minggu. Kedua anak saya sedang bermain di depan jendela kaca besar ruang tamu kami. Sementara suami saya, Bob, sedang membantu saya membersihkan piring di meja setelah kami makan siang bersama.
Tiba-tiba terdengar kegembiraan datang dari ruang tamu. Anak-anak baru saja menyaksikan penggalian salah satu pipa irigasi di depan rumah kami. Yakub, mulai berteriak, “Pa, kita melihat tikus tanah masuk ke pipa irigasi. ” Ia menjelaskan apa yang baru saja disaksikannya.
Bob balas berteriak, “Ayo, anak-anak, mari kita bawa dia.” Dan ia keluar pintu sambil berlari memanggil anjing keluarga kami untuk membantu.
Aku tahu apa yang akan terjadi dan saya rasa itu bukan sesuatu yang harus saya lihat, jadi aku kembali bekerja di dapur. Biasanya, Bob akan berjalan di akhir pipa, lalu ia akan mengguncangkan pipa tersebut hingga tikus tanah itu keluar dari ujung pipa yang lain. Anjing kami sudah menunggu di ujung pipa itu untuk mematikan tikus tanah itu.
Tikus tanah memang merusak tanaman dalam kebun organik kami meski kecil. Saya pikir, mereka bertiga melihat itu sebagai permainan.
Hal berikutnya yang saya tahu, pintu terbuka, kemudian anak-anak berlari dan berteriak, “Telepon 911! Papa terkena listrik. Ia sudah mati, ia sudah mati. Panggil 911.”
Terkadang Bob suka bercanda dan bersenang-senang. Ia selalu mengatakan untuk menguburnya sekadar hiburan. Saya pikir ini adalah lelucon yang buruk. Aku berlari ke arah Bob, melihatnya berbaring dengan muka menghadap ke bawah di jalan berpasir. Tepat di bawahnya terdapat kabel listrik. Jantungku mulai berdebar-debar. Aku tidak ingin percaya ini bisa terjadi padaku. Namun, melihat cara anak-anak berteriak, aku mulai ketakutan. Aku berteriak, ”Bob. Ayo, bangun, sekarang! Jangan menakut-nakuti anak-anak!”
Saya kemudian berlari ke sampingnya. Tubuhnya masih hangat. Aku sangat takut. Aku berlari ke dalam dan menuju telepon, menelepon tetanggaku untuk meminta bantuannya mengangkat tubuh suamiku. Sayang, tetanggaku tidak ada.
Aku mencoba berlari mencari pertolongan tetanggaku yang lain. Untunglah terdengar suara menjawab panggilan teleponku. Tetanggaku, John, rupanya mendengar suaraku yang hanya sebentar menelepon meminta pertolongannya.
Aku kembali berlari ke tempat Bob berbaring. Tidak ada waktu menghibur anak-anak yang tidak berhenti menangis dan menjerit. Saat aku mencoba membalikkan badan Bob, mereka berteriak, “Jangan, Bu, nanti Ibu akan mati juga.” Oh, ya, ampun, anak-anak kecil itu tahunya kalau ayah mereka sudah mati.
Sepertinya aku pun juga tahu, apalagi ketika tubuh kaku Bob membuat bunyi 'gedebuk' saat John dan saya bersama-sama membalikkan tubuhnya hingga telentang. Tubuhku gemetar saat aku menggosok pasir dari wajahnya dan menutup kelopak matanya. Sejenak ada rasa damai saat aku menyadari jiwanya terbang meninggalkan tubuhnya. Aku diam sebentar. Tersadar, aku menangis, berteriak, dan memanggil namanya untuk tidak meninggalkan aku.
Hidupku berubah hanya dalam waktu tiga jam. Pada pukul 12 siang adalah hari yang indah dan bahagia. Menikah dengan seorang pria yang baik. Pada pukul 15 hari yang sama, aku seorang janda, bahkan tidak tahu apa yang akan aku kerjakan nanti.
Cintailah dan hargailah orang-orang yang sangat berarti bagi kita, karena mereka dapat diambil dari kita sewaktu-waktu, hanya dalam hitungan satu menit. Katakan betapa kita mencintai mereka, sesering mungkin. (Inspire)