Intisari-Online.com – Suatu hari seorang Murid bertanya kepada Gurunya, “Guru, saya pernah mendengar kisah seorang arif yang pergi jauh dengan berjalan kaki. Anehnya, setiap ada jalan yang menurun, sang arif konon agak murung. Tetapi kalau jalan sedang mendaki, ia tersenyum. Hikmah apakah yang bisa saya petik dari kisah ini?”
“Itu perlambang manusia yang telah matang dalam meresapi asam garam kehidupan,” jelas sang Guru. “Itu peru kita jadikan cermin. Ketika bernasib baik, sesekali perlu kita saari bahwa suatu ketika kita akan mengalami nasib buruk yang tidak kita harapkan. Dengan demikian kita tidak terlalu bergembira sampai lupa bersyukur kepada Sang Maha Pencipta. Ketika nasib sedang buruk, kita memandang masa depan dengan tersenyum optimis. Tapi optimis saja tidak cukup, kita harus mengimbangi optimisme itu dengan kerja keras.”
“Apa alasan saya untuk optimis, sedang saya sadar nasib saya sedang jatuh dan berada di bawah,” sang Murid kembali bertanya. “Alasannya adalah iman, karena kita yakin akan pertolongan Sang Maha Pencipta,” terang sang Guru. “Hikmah selanjutnya?” sang murid meneruskan tanyanya. “Orang yang terkenal suatu ketika harus siap untuk dilupakan, orang yang di atas harus siap mental untuk turun ke bawah. Orang kaya suatu ketika harus siap untuk miskin,” sang Guru mengakhiri jawabannya. (BMSPS)