Warga Iran Beri Kado Natal Terindah untuk Amerika

Ade Sulaeman

Editor

Warga Iran Beri Kado Natal Terindah untuk Amerika
Warga Iran Beri Kado Natal Terindah untuk Amerika

Intisari-Online.com - Seorang perawat rumah sakit di Amerika Serikat mencium kening seorang pasiennya. Enam ribu kilometer dari ranjang rumah sakit itu, keluarga Sanaz Nezami di Iran menyaksikannya dari layar komputer, dan menangis.

Sanaz Nezami (27), perempuan dengan kemampuan tiga bahasa, datang ke Amerika Serikat untuk belajar di Universitas Teknologi Michigan. Nasib bicara lain. Nezami justru mengalami mati otak setelah dipukuli suaminya, ketika baru beberapa jam dia membongkar tas di Amerika.

Teknologi memungkinkan keluarga Nezami melihat saat-saat terakhir putri mereka. Berdasarkan iman mereka, keluarga Nezami menyetujui rumah sakit melakukan tindakan yang akan menjadi sumbangan luar biasa dari hidup Nezami.

Jantung, paru-paru, dan organ dalam Nezami akan disumbangkan untuk menyelamatkan tujuh nyawa pasien di rumah sakit Amerika. Hadiah luar biasa yang hanya diberikan oleh kurang dari 1 persen penghuni bumi hari ini.

"Kami ingin Tuhan membuat mukjizat dan membawa Sanaz hidup kembali," kata saudara Nezami, Sara Nezami, melalui pembicaraan telepon ke Teheran. "Namun ini juga adalah sebuah keajaiban. Sanaz memberikan hidupnya untuk memberi kehidupan (kepada orang lain)."

Seorang perawat Sanaz Nezami mengatakan, pengalaman ini telah membuka mata para staf rumah sakit. "Keluarga itu bersedia untuk memercayai kami setelah tahu Sanaz tak akan kembali (hidup)," kata Kim Grutt, perawat itu.

Kisah Nezami

Pada Agustus 2013, Nezami menikahi Nima Nassiri di Turki. Mereka kemudian tinggal bersama di Los Angeles, Amerika Serikat, tempat Nassiri lahir dan dibesarkan. Adik Nezami mengatakan, pasangan itu bertemu lewat internet.

Nezami yang lahir dan besar di Teheran memiliki gelar sarjana tenik dan master bahasa Perancis. Keberangkatannya ke Amerika Serikat untuk mendapatkan gelar doktoral di bidang teknik lingkungan.

Pengantin baru itu kemudian berangkat ke California. Mereka menyewa rumah di Michigan pada November 2013. Selama waktu itu, Nezami berkomunikasi dengan keluarganya di Teheran melalui e-mail, layanan pesan, dan video call.

Pada 7 Desember 2013, Nezami meminta saudara perempuannya melakukan koreksi terjemahan bahasa Inggris ke bahasa Persia yang dia kerjakan sebagai sampingan. "Saya terkejut," kata Sara mengawali penuturan yang berawal dari permintaan koreksi tersebut.

"Sanaz adalah gadis yang sangat presisi, tetapi dia menghilangkan beberapa baris (dalam terjemahan itu). Saya bertanya kepadanya, 'Kamu baik-baik saja?' Dia menjawab tak ada masalah," tutur Sara.

Namun, keesokan hari setelah komunikasi soal terjemahan itu, Sanaz Nezami dilarikan ke rumah sakit dengan cedera berat di kepala dan kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Marquette. Polisi berkeyakinan, Nezami dihajar suaminya yang belakangan didakwa melakukan pembunuhan tingkat dua.

"Otaknya begitu bengkak dan rusak. Tidak ada aliran darah sama sekali," ujar Gail Brandly, pengawas perawat rumah sakit, tentang cedera Nezami. Karena tidak ada seorang pun di Michigan mengenal Nezami, Brandly mencoba peruntungan dengan mencari informasi melalui Google.

Dari laman internet, figur orang asing yang tak lagi bisa berbicara untuk dirinya sendiri itu "memperkenalkan diri". Riwayat hidup Nezami mencantumkan kemampuannya dalam bahasa Perancis, Inggris, dan Persia.

Dalam laman yang ditemukan Brandly, Nezami menawarkan kemampuan memasaknya bila ada yang membutuhkan masakan untuk amal. Saat remaja, Nezami telah menulis untuk koran dan majalah pemuda, dan menjadi juara pertama penulisan sastra pada 2001 dengan esai berjudul "Persahabatan dan Perbedaan di antara Kita".

Organ untuk tujuh pasien Amerika

Sekitar 24 jam berlalu, rumah sakit akhirnya bisa menghubungi kerabat Nezami di Iran. Karena biaya perjalanan dan persyaratan visa yang rumit, komunikasi antara keluarga Nezami dan para staf rumah sakit dilakukan menggunakan teknologi. Komputer jinjing dan Yahoo Messenger memendekkan jarak dan waktu di antara dua lokasi yang terpisah lebih dari 6.000 kilometer itu.

"Ini bukan sesuatu yang bisa kita lakukan pada masa lalu. Tidak setiap hari juga kami berhadapan dengan keluarga pasien yang sangat jauh," kata juru bicara rumah sakit, Dave Edwards. Sampai pada satu waktu, kelurga Nezami meminta Grutt mengelus kepala Sanaz dan mencium kening perempuan muda itu.

"Mereka meminta kami melakukan beberapa hal untuk Sanaz yang mereka ingin lakukan (seandainya bisa)," tutur Grutt. "Mereka mengatakan, 'Biarkan dia tahu kami mencintainya. Kami di sini.' Saya merasa benar-benar nyaman (mewakili mereka)," lanjut dia.

Sanaz Nezami dinyatakan meninggal pada 9 Desember 2013. Namun, organ-organ penting dari tubuhnya kini bersemayam di tubuh orang lain, menyambung hidup orang-orang itu.

Jantung, paru-paru, ginjal, hati, pankreas, dan usus kecil Nezami disumbangkan untuk donor transplantasi. Dengan persetujuan keluarga, tujuh orang telah mendapatkan donor organ dari Sanaz Nezami.

"Keluarga itu sangat jelas (menyampaikan maksudnya). Mereka ingin orang Amerika tahu bahwa Sanaz mencintai Amerika," kata Wendy Mardak, dari Lembaga Donor Organ dan Jaringan UW.

Pemakaman oleh pendeta episkopal

Nezami dimakamkan di Michigan pada 18 Desember 2013. Seiring butiran salju yang jatuh di tanah Amerika, pemuka agama Rev Leon Jarvis membacakan doa-doa menurut ajaran Islam di atas peti mati Nezami. Sekitar 20 orang, yang sebagian besar adalah para perawat Nezami di rumah sakit, menghadiri pemakaman tersebut.

Jarvis bukanlah seorang Muslim. Dia pendeta episkopal. Selain memimpin pemakaman Nezami secara Islam, Jarvis juga berjanji kepada ayah Nezami, "Selama aku bernapas dan hidup di kota ini, putri Anda tak akan sendirian."

"Aku belum pernah melihat ada seseorang yang begitu cepat 'diadopsi' oleh begitu banyak orang," kata Jarvis. "Mengingat musim kami sekarang, ini adalah hadiah luar biasa dari Sanaz, juga hadiah dari masyarakat. Ini untuk kebaikan umat manusia, dan merupakan tindakan yang dapat dilakukan di tengah kesinisan yang terasa sangat nyata sekarang."

(Palupi Annisa Auliani/kompas.com)