Intisari-Online.com- Pecinan Semarang, kawasan berusia 332 tahun ini, terbentuk oleh blok-blok panjang yang dominan membujur dari selatan ke utara. Rumah dan toko mewarnai lorong-lorong di sepanjang jalan tersebut. Uniknya, sebagian besar lorong berakhir pada kelenteng. “Ada kepercayaan bahwa posisi tusuk sate dipengaruhi oleh roh-roh jahat dan kekuatan lain yang tidak diinginkan oleh manusia,” kata Harjanto Halim, Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopi Semawis). Konon, posisi tusuk sate ini lebih bagus bila dimanfaatkan untuk mendirikan kelenteng ketimbang rumah.
Maka tak heran bila cukup banyak kelenteng di kawasan yang tidak terlalu luas itu. Jumlahnya mencapai delapan buah dengan jarak antarkelenteng yang tak jauh. Keberadaan kelenteng-kelenteng ini nyatanya menciptakan suasana khas Pecinan. Tempat ibadah yang kerap dikunjungi masyarakat. Klenteng Tay Kas Sie, misalnya. Tak hanya warga Pecinan atau Semarang secara umum, tapi juga penjuru dunia menyambangi kelenteng buatan tahun 1771 itu.
Tan Tjoen Ing, salah satu pengunjung dari Bogor, pun datang ke Klenteng Tay Kak Sie. “Saya suka berkunjung ke kelenteng-kelenteng. Katanya di Gang Lombok ini ada. Saya bela-belain ke sini,” ujar ibu berusia 46 tahun ini. Apa yang dimohonkan Tan Tjoen Ing kepada para dewa sepertinya hampir sama bagi setiap orang. Ia hanya meminta keselataman dan kelancaran usaha.
Namun menurut Tan Tjoen Ing, ada pula yang minta dimudahkan mendapat jodoh. Macam-macam, memang. Bahkan, ia sendiri sempat minta petunjuk ketika mau membeli sebuah rumah. “Saya sudah ke beberapa kelenteng untuk ‘dikasih lihat’, bagus enggaknya rumah yang mau saya beli. Ada yang ngasih lihat, ada yang enggak,” cerita Tan Tjoen Ing.
Begitulah. Tak dipungkiri, Semarang memang tersohor akan kelentengnya. Keramaian akan lebih tampak bila bertepatan dengan Jit Cap Go (tanggal 1 dan 15 setiap bulan pada kalender Imlek). Ketika itu banyak warga berbondong-bondong untuk berdoa. “Karena mereka meyakini bahwa pada tanggal tersebut dewa-dewa menjenguk manusia,” ujar Widiantin Santoso (64), Kepala Kantor Yayasan Klenteng Tay Kak Sie.
Widiantin menambahkan, kebanyakan orang yang berdoa di Tay Kak Sie adalah mereka yang berusia 50 tahun ke atas. Kadang, kunjungan diselaraskan dengan ulang tahun dewa tertentu.