Masalah Gizi Bisa Karena Faktor Budaya, Lo!

Rusman Nurjaman

Penulis

Masalah Gizi Bisa Karena Faktor Budaya, Lo!
Masalah Gizi Bisa Karena Faktor Budaya, Lo!

Intisari-Online.com - Selama ini persoalan pemenuhan gizi sering dilihat dari sudut pandang ekonomi dan medis. Kenyataannya, peran budaya juga ikut menentukan persepsi masyarakat soal gizi. Sebagai masalah bangsa, untuk mengatasi buruknya pemenuhan gizi ibu dan anak memerlukan peran lintas sektoral, lintas disiplin ilmu, serta dukungan dari seluruh komponen bangsa. Hal ini mengemuka dalam diskusi Bincang Gizi Nutritalk yang diselenggarakan Sarihusada dalam memeriahkan Hari Anak Nasional 2013.

Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk balita di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 17,9%. Sementara balita yang tergolong pendek masih sebesar 35,6%. Di sisi lain, ditemukan sebanyak 14,2% balita dengan berat badan berlebih. “Kedua kondisi tersebut jika tidak teratasi bisa menjadi sebuah pertanda bahwa negeri ini akan menghadapi generasi dengan masalah gizi dalam kurun waktu 20-25 tahun mendatang,” begitu kata Prof. Dr. Made Astawan, Guru Besar Gizi Institut Pertanian Bogor.

Dr. Pinky Saptandari, MA, antropolog dari Universitas Airlangga, menjelaskan, penyebab masalah gizi ini bukan semata karena tingkat ketersediaan pangan di masyarakat. Akan tetapi juga terkait dengan faktor pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang tidak memadai dalam mengatur pola makan dan mengetahui kandungan gizi dalam makanan.

“Selain itu, pengaruh gender, budaya keluarga, dan mitos yang berkembang di masyarakat turut memberikan andil. Kesemua faktor itu menciptakan kebiasaan makan dan pemberian makan keluarga kepada anggota keluarga khususnya ibu dan anak,” papar Pinky.

Sebagai sistem budaya, makanan bukan hanya dipandang sebagai hasil organik dengan kualitas biokimia yang secara fisiologis berfungsi untuk mempertahankan hidup. Makanan juga mempunyai makna sosial budaya yang diakui, dianut, dan dibenarkan oleh masyarakat setempat, jelas Pinky.

Beberapa mitos dan fakta mengenai makanan dan gizi menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses perbaikan gizi keluarga. Sebagai contoh, ada mitos yang mengatakan bahwa ibu hamil tidak boleh makan ikan karena bayinya bisa bau amis. Di daerah lain ada juga mitos yang melarang anak balita makan telur karena bisa bisulan. “Itu merupakan dua contoh mitos yang keliru karena telor dan ikan justru merupakan sumber makanan dan gizi yang baik untuk ibu hamil dan anak balita,” kata Prof. Made.

Contoh lain, mitos yang mengatakan anak laki-laki harus makan lebih banyak dari anak perempuan. Anak menangis dianggap pertanda lapar sehingga harus diberi porsi makan lebih. Atau, ibu hamil harus meningkatkan porsi makannya dua kali lipat. “Semua itu hanyalah mitos yang tidak didukung oleh bukti ilmiah dan harus dihilangkan dari kepercayaan masyarakat,” timpal Pinky.

Padahal masa emas perkembangan anak adalah sejak lahir hingga usia 2 tahun. Bahkan menurut ilmu gizi terkini, diketahui bahwa kualitas anak ditentukan sejak terjadinya konsepsi hingga masa balita. Kecukupan gizi ibu selama hamil hingga anak berusia dibawah 5 tahun hingga pola pengasuhan yang tepat, berkontribusi nyata mencetak generasi unggul.

Solusinya, tak lain persebaran informasi yang merata soal permasalahan gizi. Selain itu, pemberian pemahaman yang benar tentang asupan gizi yang tepat bagi ibu hamil dan balita. Singkatnya, perlu didorong pengembangan pemahaman budaya makan yang tepat bagi tumbuh kembang balita. Tujuannya: demi mengikis budaya dan mitos yang dianggap mengganggu upaya perbaikan gizi masyarakat.

Akar masalah dan solusi sudah ditemukan. Siapa yang memulai langkah nyata? Pemerintah, industri farmasi, pakar medis dan tenaga kesehatan, LSM, dan masyarakat umum, harus berjalan seiring nan sinergis. Betapapun hal ini tak semudah membalik telapak tangan. Sebab, jika tidak demikian, risikonya tak main-main: Indonesia terancam kehilangan satu generasi karena masalah gizi buruk di masa mendatang.