Advertorial
Puluhan tahun fakta di balik peristiwa 1965 terkunci rapat. Ia hanya mengalir dari ruang kelas kedokteran satu ke kelas kedokteran yang lain. Intisari September 2009 dalam judul “Saksi Bisu dari Ruang Forensik” mencoba mengurai itu; mengungkap faktra-fakta yang tersembunyi di balik bangsal-bangsal forensik.
Intisari-Online.com -Oktober 1965 bisa disebut sebagai masa kelam bagi dunia pers Indonesia, juga buat seluruh masyarakat Indonesia. Media-media cetak kala itu, yang dipelopori media milik pemerintah militer ramai-ramai memuat kekejaman perisitwa penculikan enam jenderal yang kelak disebut sebagai Pahlawan Revolusi.
Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menulis dengan sedikit hiperbolik. Misalnya, Ahmad Yani dicungkil matanya, juga yang lebih sadis lagi, kemaluan para korban tersebut diiris-iris menggunakan silet, lalu dipermainkan oleh para pelaku yang kebanyakan perempuan.
Berita yang ditulis oleh dua corong militer tersebut berefek domino, koran-koran lain di luar dua koran itu, terutama yang memiliki sentimen besar terhadap komunisme Indonesia, turut mengutip berita-berita tersebut. Lantas menyebar ke masyarakat luas.
Imbasnya bisa dipastikan, kemarahan rakyat meluap dan membutuhkan pelampiasan-pelampiasan. Lalu muncul arus pembantaian terhadap massa partai komunis atau yang diduga komunis yang tak kalah ganasnya. Kabarnya, angka kematian akibat kemarahan ini mencapai angka 1,5 juta jiwa.
Lalu benarkah “pencukilan” itu benar adanya? Tim forensik secara bernas memang mengatakan para korban mendapat perlakuan cukup kejam di luar batas kemanusiaan. Tapi ada fakta lain yang mengejutkan, tidak ada pencukilan mata dan pemotongan penis para korban.
Dalam kondisi saat itu, tidak mudah bagi para para ahli forensik mengatakan hal yang sebenarnya. Seolah ada ketakutan, kalau menuliskan apa adanya, kemungkian mereka dicap sebagai PKI sangat besar. Oleh karena itu, visum et repertum melaporkan seperi apa yang dimuat di Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata.