Advertorial

Mengenang G30S: Kebanyakan Tembakan dan Tusukan (3)

Moh Habib Asyhad

Editor

Mengenang G30S: Kebanyakan Tembakan dan Tusukan (3)
Mengenang G30S: Kebanyakan Tembakan dan Tusukan (3)

Puluhan tahun fakta di balik peristiwa 1965 terkunci rapat. Ia hanya mengalir dari ruang kelas kedokteran satu ke kelas kedokteran yang lain. Intisari September 2009 dalamss judul “Saksi Bisu dari Ruang Forensik” mencoba mengurai itu; mengungkap fakta-fakta yang tersembunyi di balik bangsal-bangsal forensik.

Intisari-Online.com -Pada visum memang tertulis kondisi biji mata beberapa korban terlihat kempis dan keluar. Tapi menurut Djaja hal itu disebabkan oleh pembusukan jenazah. Berbeda jika mata sengaja dicungkil, karena pasti akan terdapat luka, tusukan, atau tulang yang patah di sekitar mata. Kondisi kemaluan para korban juga tertulis semuanya utuh. Buktinya bisa diketahui ada empat penis dikhitan dan tiga penis yang tidak.

Visum menggambarkan para korban umumnya terkena tembakan senjata api, yang menghasilkan luka tembak masuk dan luka tembak keluar. Jenazah Achmad Yani luka tembaknya terbanyak, yakni 10 luka tembak masuk dan tiga luka tembak keluar. Luka tembak Soetojo Siswomihardjo, S. Parman, dan D.I. Panjaitan, umumnya terdapat di kepala.

Pada jenazah P. Tendean, terdapat penganiayaan berat yang menyebabkan luka menganga pada puncak kepala dan dahi. Kekerasan benda tumpul ditemukan pada jenazah Soetojo, S. Parman, dan R. Soeprapto. Hanya jenazah M.T. Haryono yang tidak terdapat luka tembak, melainkan luka tusuk di bagian perut tembus ke punggung, serta di bagian tangan. "Akibat ditusuk bayonet," kata Djaja menyimpulkan.

Djaja menyatakan, tidak perlu meragukan hasil kerja tim dokter yang mengautopsi korban G30S. Saat itu mereka orang-orang yang berkompeten dalam ilmu kedokteran kehakiman, yang kini istilahnya kedokteran forensik. Meski sudah terkubur empat hari, jenazah juga masih dapat diidentifikasi dengan baik. "Sudah puluhan tahun meninggal saja tetap bisa diidentifikasi kok," kata ahli DNA yang pernah mengidentifikasi kerangka tentara Jepang yang mati di Papua pada Perang Dunia II ini.

Mungkin pertanyaan yang timbul saat ini, kata Djaja: mengapa tidak dilakukan autopsi dalam lewat pembedahan? Jawabannya, karena perintah hanya sebatas itu. Dokter tidak berhak melanggar. Termasuk ketika Lim menemukan anak peluru sepanjang 4,7 mm. Benda itu diserahkannya kepada Soeharto. Sebenarnya jika ingin dilakukan proses pemeriksaan balistik, dapat diketahui asal senjatanya.