Mengenang G30S: Gara-gara G30S, Anak Brigjen Supardjo Sering Dikeroyok (4)

Tjahjo Widyasmoro

Editor

Mengenang G30S: Gara-gara G30S, Anak Brigjen Supardjo Sering Dikeroyok (4)
Mengenang G30S: Gara-gara G30S, Anak Brigjen Supardjo Sering Dikeroyok (4)

Intisari-Online.com -Akibat peristiwa G30S, tekanan masyarakat juga dirasakan Sugiarto, putra ketiga Brigadir Jenderal Supardjo, salah satu petinggi militer yang terlibat Dewan Revolusi.

Ejekan dan cemoohan sempat jadi makanan sehari-hari selama kurang lebih setahun.

Satu bekas luka di punggung menjadi kenang-kenangan masa sulit itu.

Luka itu didapat saat ia melindungi adiknya dari tombak waktu terjadi amuk massa.

“Ah, tapi saya enggak mau cengeng cuma gara-gara itu,” kata Sugiarto yang enggan bercerita lebih lanjut.

Sikap tidak ingin meratapi nasib itulah yang selalu dibawa Sugiarto hingga kini.

Bahkan ketika kesulitan demi kesulitan terus menimpa keluarganya, sebagai anak yang sudah beranjak dewasa ia berusaha bertahan.

Semua karena ibunya, Triswati, yang selalu bersikap tabah menghadapi kenyataan ini.

“Terima semua ini sebagai takdir,” begitu selalu pesan janda Supardjo kepada anak-anaknya.

Sebagai istri tentara, ia sudah terbiasa hidup sendiri tanpa suami.

Di sinilah Sugiarto mengagumi kekuatan perempuan dibandingkan dengan lelaki.

Kesulitan yang harus dihadapi Sugiarto sebenarnya tak kalah hebat.Titel dokter gigi yang diperolehnya dengan susah payah tidak bisa dimanfaatkan karena terbentur Surat Keputusan (Instruksi) Menteri Dalam Negeri nomor 32 tahun (1981). Peraturan yang masih berlaku sampai sekarang itu intinya melarang keluarga tahanan politik menjadi pegawai negeri. Tapi lagi-lagi ia tidak mempersoalkannya.

Keengganan Sugiarto mengungkit masa lalu karena orang yang marah atau benci kebanyakan justru adalah mereka yang tidak mengerti permasalahan sebenarnya. Apalagi masih ada orang-orang yang bersikap baik kepada keluarganya meski kedudukannya berseberangan. Mereka adalah rekan-rekan ayahnya semasa di militer, seperti Ibrahim Adjie, HR Dharsono, atau keluarga Ibnu Sutowo. “Saat itu mana ada yang berani dekat-dekat dengan keluarga tahanan politik. Takut dianggap berkomplot dan ujung-ujungnya diinterogasi,” kata Sugiarto yang berusia 15 tahun saat peristiwa G30S terjadi.

Ibrahim Adjie, mantan Panglima Siliwangi dan salah satu sahabat ayahnya, selalu menolong di saat kesulitan-kesulitan datang tiada henti. Satu tindakan paling berani adalah memberikan uang pensiunnya kepada janda Supardjo, yang masih harus menghidupi 12 putra-putrinya. Ia juga menikahkan salah seorang putranya dengan salah seorang putri Supardjo.

Karena kegundahannya, suatu kali Sugiarto pernah bertanya kepada Ibrahim, yang dipanggilnya Papi, “Pap, apa ayah saya bersalah?” Yang ditanya menggeleng. “Tidak, dia seorang professional army. Dia hanya melaksanakan tugas,” kata Ibrahim tegas. Sebuah jawaban yang benar-benar melegakan Sugiarto.

---

Tulisan ini diambil dari artikel “Jalan Damai Anak-Anak Korban Konflik 1965” (Intisari, September 2004)