Mendadak Batik (2): Motivasi Ekonomi yang Digosok Nasionalisme

Mohamad Takdir

Editor

Mendadak Batik (2): Motivasi Ekonomi yang Digosok Nasionalisme
Mendadak Batik (2): Motivasi Ekonomi yang Digosok Nasionalisme

Intisari-Online.com -Usaha Malaysia mematenkan batik di sisi lain justru mendatangkan berkah di Indonesia. Sebab, industri batik menggosok-gosok isu dan momen ini dengan sentimen nasionalisme untuk menggelembungkan pasar.Batik yang asli menggunakan lilin {wax) sebagai perintang warna dalam proses pembuatannya. Begitu amanat konvensi batik internasional di Yogyakarta tahun 1997. Adanya lilin ini membuat batik memiliki aroma yang khas. Gambar pada kain juga akan terlihat tembus pada bagian sebaliknya.Pada batik superhalus, pelilinannya bahkan dilakukan dua sisi. Jadi, batik asli, jika kain dibolak-balik, tetap sama kualitasnya. Detilnya gambar pada kain batik asli juga relatif sederhana. Nyaris mustahil ditemukan gambar berukuran kecil dengan warna-warna gelap akibat keterbatasan proses pelilinan. Pemakaian canting saat menggambar juga membuat ragam hias (corak) berbeda-beda pada setiap kain. Perbedaan corak juga bisa terjadi pada batik cap sekalipun.Merujuk sederet syarat tadi, baju batik yang ngetren saat ini lebih tepat disebut tren tekstil bermotif batik. Soalnya, batik asli dari dulu hingga sekarang ternyata tetap adem ayem saja. Achmad Haldani, seniman batik kontemporer dari Bandung, menilai tren itu sebagai kerjaannya orang-orang di industri tekstil yang jeli melihat peluang. "Momennya peristiwa Malaysia, lalu digosok ke arah nasionalisme. Padahal motivasinya tetap saja ekonomi," jelasnya. Sisi positifnya, tren itu membuat kita tersadar, batik yang katanya sudah jadi identitas bangsa itu, selama ini malah tidak pernah kita lirik sebagai pilihan busana sehari-hafi. Batik lebih banyak tergantung rapi dan wangi di almari. Ketika sudah lama dipakai atau muncul potongan baru yang lebih populer, baru kemudian orang beli baju batik lagi."Sampai booming yang kemarin itu, sebelumnya kita tidak pernah mengalami tren batik," begitu Haldani mencatat. Akhir tahun 1980-an sampai awal tahun 1990-an, sempat muncul busana yang memanfaatkan batik-batik lama. Tapi, menurut pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, waktu itu semangatnya retro.Berasal dari tulisan: Ubah Tren Batik Menjadi Keseharian ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro, Intisari Januari 2009