Intisari-Online.com -Kelud merupakan gunung teraktif setelah Gunung Merapi. Sejarah letusannya bisa dikatakan cukup panjang terkait apakah gunung itu aktif atau tidak. Tahun 1000 terjadi erupsi terpusat lalu diikuti 24 letusan setelahnya. Begitulah referensi Data Dasar Gunung Api Indonesia.
Letusan tahun 1000 sendiri baru bisa diperinci hampir satu abad setelahnya meskipun tetap tidak bisa dilihat ada korban atau tidak. Berturut-turut kemudian tahun 1919, 1920, 1951, 1966, 1984, 1990, dan terakhir 2007.
Dari catatan yang diperoleh, letusan yang menghadirkan bencana terbesar adalah letusan tahun 1919. Dentuman amat keras yang terjadi pada 19-20 Mei 1919 itu bahkan terdengar hingga Kalimantan.
Kirbani Sri Brotopuspito, deson geofisika UGM yang melakukan pengamatan data kegempaan Kelud antara 1973-1990 dan 1990-200 dengan model penghitungan “b-velue”. Kirbani menjelaskan, letusan eksplosif tahun 1990 besaran angka “b-velue” adalah di bawah 1, sementara letusan efusif tahun 2007 angka “b-belue” adalah lebih besar dari 1.
Dalam ilmi seismologi itu artinya, jika “b-velua” kurang dari 1 bakal terjadi peristiwa besar, jika lebih maka tidak akan terjadi peristiwa besar. Dane memang benar, analisis Kirbani tepat; letusan ekplosif tahun 1990 memiliki dampak lebih besar dibanding letusan 2007 yang lebih kecil.
Jenis yang sulit ditebak
Seperti yang dilansir Kompas, Kirbani menyebut Kelud adalah jenis gunung yang “pelit gempa”, tak seperti Merapi, Kelud bisa berperilaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Kelud juga terkenal sebagai gunung yang tidak terlalu banyak memberi tanda-tanda seperti tremor, vulkanik dangkal, dan gempa-gempa lainnya.
Seperti saat ini, tidak ada tanda-tanda signifikan tiba-tiba status Kelud sudah dinaikkan menjadi waspada. Proses mitigasi bisa saja dilakukan asal ada ketaatan masyarakat pada status bencana, juga pendekatan berbagai ilmu agar kesimpulan yang dihasilkan bisa diandalkan.