Intisari-Online.com - Bagi yang pernah melihat proses pembuatan tempe tradisional tentu paham jika prosesnya dibilang tidak higienis. "Selain itu, drum yang digunakan untuk merebus kedelai biasanya bekas drum aspal. Itu 'kan berbahaya karena proses pembersihannya belum tentu benar-benar bebas aspal," kata Endang Maulana, sekretaris Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia (Kopti) Bogor.
Nah, untuk memelopori pembuatan tempe yang higienis itu, konsorsium yang terdiri atas Forum Tempe Indonesia, Mercy Corps dan Primkopti Kabupaten Bogor bekerja sama dengan pihak swasta dan BUMN mendirikan Rumah Tempe Indonesia (RTI) di kawasan Cilendek Bogor.
RTI telah mendapatkan sertifikat Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sebagai bukti penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) secara menyeluruh. Selain higienis, RTI dalam proses pembuatan tempe tidak menghasilkan limbah. Berbeda dengan produsen tempe tradisional yang kebanyakan tidak mengolah sisa limbah, terutama limbah cair sehingga menimbulkan bau dan mencemari lingkungan.
Limbah cair dialirkan melalui pipa yang tertanam di bawah tempat perendaman dan perebusan kedelai menuju ke bak biogas dan bak filtrasi untuk kemudian dialirkan ke sumur resapan.
“Dari biogas kami memperoleh gas tentunya. Bisa digunakan sebagai sumber energi alternatif sehingga menghemat bahan bakar. Sedangkan sisa air masuk ke sumur resapan sebagai tabungan air,” papar Endang sambil menunjukkan lokasi pengolahan limbah yang berada di samping RTI.
Dalam rangka memasyarakatkan pembuatan tempe yang higienis, RTI menjual peralatan seperti yang ada di RTI. Untuk skala rumah tangga satu set peralatan harganya sekitar Rp40 juta.
Simak artikel lengkap soal Rumah Tempe Indonesia di majalah Intisari edisi Maret 2014. Atau dapatkan versi digitalnya di SCOOP.