Intisari-Online.com - Emisi karbon yang terus meningkat akan memperbesar risiko konflik, kelaparan, banjir, gangguan ekonomi, dan migrasi massal penghuni bumi pada abad ini.Jika dibiarkan, emisi gas rumah kaca tersebut akan menyebabkan kerugian triliunan dollar AS karena kerusakan properti dan ekosistem, dan untuk biaya membangun sistem pertahanan iklim. Risiko ini meningkat setiap satu derajat kenaikan temperatur udara akibat pemanasan global.Demikian terungkap dalam laporan terbaru Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang disampaikan setelah konferensi selama lima hari di Yokohama, Jepang, Senin (31/3/2014). IPCC adalah panel para pakar yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1988 untuk memberikan panduan ilmiah dan netral terkait perubahan iklim.”Peningkatan besaran pemanasan menambah kemungkinan terjadinya berbagai dampak yang parah, meluas, dan tak bisa diubah,” demikian isi ringkasan laporan itu, yang merupakan sebuah pesan yang kuat kepada para pembuat keputusan.Laporan IPCC itu menyebutkan, dampak pemanasan global dirasakan di mana pun, mengobarkan kemungkinan kekurangan pangan, bencana alam, dan risiko perang. ”Dunia, pada banyak kasus, tidak siap menghadapi risiko iklim yang berubah,” kata IPCC setelah teks final laporan itu disepakati.Laporan ini merupakan bab kedua dari tahapan pemeriksaan kelima oleh IPCC, yang memberikan peringatan terkeras terkait berbagai konsekuensi ekstrem pemanasan global. Laporan ini juga memberikan uraian lebih rinci dalam hal efek regional perubahan iklim.Menurut laporan terbaru ini, pemanasan global akan mengganggu pola hujan dan menyebabkan kenaikan risiko banjir secara signifikan, terutama di Eropa dan Asia. Di sisi lain, risiko kekeringan juga makin tinggi di daerah yang tandus.Semua itu akan berdampak pada sektor pertanian dan kesehatan, dan pada gilirannya bisa memicu gejolak serta konflik sebagai akibat migrasi massal dari daerah-daerah yang tak lagi bisa dihuni.(Baca juga: Erupsi Vulkanik Perlambat Pemanasan Global)Gagal terwujudLaporan sebelumnya, yang diterbitkan tahun 2007, menimbulkan sebuah gelombang aksi politik yang pada satu titik sempat memunculkan harapan tercapainya sebuah traktat dunia mengenai perubahan iklim di Kopenhagen, Denmark, tahun 2009.Namun, sebuah konsensus global gagal terwujud saat terjadi perbedaan pendapat antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Negara-negara penyebab polusi utama, seperti Tiongkok, bersikeras bahwa negara-negara kayalah yang seharusnya memimpin upaya penurunan emisi karbon. Negara-negara berkembang, lanjut Tiongkok, tak bisa diharapkan untuk mengorbankan pertumbuhan ekonomi mereka.Di Amerika Serikat, upaya Presiden Barack Obama untuk meloloskan undang-undang perubahan iklim terganjal di Kongres, saat banyak politisi Partai Republik masih tak yakin pada bukti-bukti ilmiah pemanasan global. Menurut para republiken ini, upaya mitigasi perubahan iklim hanya akan menjadi penghalang yang tidak perlu terhadap pertumbuhan ekonomi. (Kompas)