Intisari-Online.com -Patut direnungkan bahwa relasi dua sejoli itu seyogianya merupakan relasi intim atas dasar saling mengasihi dan mencintai. Setidaknya, ada enam aspek yang membedakan antara relasi intim dengan relasi biasa. Pertama, informasi. Relasi intim dengan sendirinya akan membuat masing-masing pasangan berbagi dalam cerit tentang masalah pribadi, masa lalu, kesukaan-kesukaan, perasaan-perasaan, serta keinginan-keinginan yang sebelumnya menjadi rahasia masing-masing. Kedua, kehidupan kedua pasangan saling mengisi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiga, saling ketergantungan. Masing-masing pasangan memiliki makna khusus pada diri pasangannya dan memiliki kebutuhan untuk saling mempengaruhi dengan caranya sendiri-sendiri. Jadi, perilaku salah satu pasangan akan mempengaruhi diri mereka sebagai pribadi maupun sebagai pasangan. Keempat, dengan konsekuensi ikatan emosi yang kuat itu, maka relasi mereka benar-benar bersifat mutualitas dalam artian saling mengisi. Kelima, kualitas dari kedekatan ini dapat ditoleransi, karena kedekatan relasi ini menciptakan relasi penuh kepercayaan dan terpercaya di antara pasangan, sehingga mereka dapat bersikap terbuka dan jujur satu sama lain. Keenam, di antara pasangan tercipta suatu kesepakatan atau komitmen dalam relasinya.
Memang, sulit menemukan enam aspek tadi dalam satu ikatan perkawinan yang berfungsi secara sempurna. Makanya, tak perlu berkecil hati jika ada satu atau dua komponen yang tidak ada. Soalnya, bisa saja dalam sebuah perkawinan yang tidak bahagia--akibat berbagai konflik yang tidak terselesaikan--kedua pasangan tetap menghayati kadar saling ketergantungan tertentu. Seburuk apa pun kondisi relasi yang terbentuk di antara pasangan perkawinan tetap relatif lebih intim daripada relasi mereka dengan kenalan lain di luar rumah.
Perlu dipahami juga, tidak setiap konflik di dalam perkawinan bersifat merusak. Ada konflik yang justru bersifat membangun, yakni konflik yang justru membuat kedua pasangan lebih saling memahami dan mengenali apa yang diinginkan oleh pasangannya. Dengan begitu penyesuaian antarpasangan dapat diciptakan dengan hasil yang lebih baik.Artikel ini pernah ditulis oleh Sawitri Supardi Sadarjoen, Guru Besar pada bidang psikologi klinis, Fak. Psikologi Unpad, Bandung, dalamIntisariEdisiHealthy Sexual Life 3, tahun 2007, dengan judul asli "7 Tahun Usia Rawan Perkawinan".