Intisari-Online.com – Pandangan bahwa anak harus menjadi si nomor satu, tidak sepenuhnya benar. Karena dengan demikian, kita memaksakan agar anak melebihi anak-anak yang lain. Dan kita akan cenderung mendorong mereka untuk berprestasi melebihi anak lain pada usia sedini mungkin. Lalu, apakah sukses anak juga bukti sukses orangtua?
Bukan hanya mendorong anak-anak di bidang akademis saja, tetapi dalam permainan olahraga, dengan harapan kelak bisa menjadi atlet berprestasi.
Tentu saja tidak salah berharap anak-anak melakukan hal terbarik. Namun tanpa disadari, keinginan untuk memperoleh anak yang sukses terkadang membuat kita melakukan tekanan yang berlebihan terhadap anak. Kalau anak ternyata tidak memenuhi harapan, kita yang bahaya.
Sekarang ini para orangtua mempunyai anak lebih sedikit daripada dulu, sehingga peluang untuk mempunyai “anak yang bisa dibanggakan” kurang pula dibandingkan dengan keluarga besar. Biaya membesarkan anak juga meningkat secara dramatis sekali, sehingga anak yang sukses berarti tidak terlalu menggerogoti kekayaan orangtuanya.
Kenyataannya, banyak orangtua beranggapan bahwa sukses anak juga bukti sukses orangtua. Akibatnya, banyak orangtua terlalu mencampuri urusan anak. Mereka menentukan apa yang harus dipelajari dan kapan waktunya untuk belajar. Mereka merampas inisiatif anak, merebut tanggung jawab terhadap kesalahan yang dibuat anak, dan mengambil alih pujian atas keberhasilan anak.
Dalam buku Selfish Reason To Have More Kids: Why Being A Parent Is Less Work and More Fun Than You Think (2011), ekonom Bryan Caplan yang juga seorang profesor di George Mason University, dengan jelas mengulas bahwa orangtua sering kali membuat gambaran anak-anaknya bagaikan cetakan tanah liat yang hidup. Ketika mereka benar-benar lebih seperti plastik yang fleksibel dalam merespon tekanan, tetapi muncul kembali ke bentuk aslinya ketika tekanan dilepaskan.
Pikiran bahwa kita bisa menghasilkan anak yang istimewa dengna memberikan instruksi pada usia sedini mungkin, rasanya harus dibuang jauh-jauh. Kita harus lebih memperhatikan watak daripada kesuksesan. Jika kita berhasil membesarkan seorang anak yang berkelakuan baik dan tahu akan hal-hal yang pantas, seharusnya kita bangga akan hal itu. Karena, mau tak mau, jika kita sudah berhasil membesarkan anak yang demikian, kesuksesan akan mengikuti dia dengan sendirinya.
Setiap anak punya pola kualitas dan kemampuan yang unik, yang membuat seorang istimewa. Kalau kita memandangnya dari sudut ini, maka setiap anak sesungguhnya adalah seorang anak yang super. (Intisari Oktober 2014)
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR