Intisari-Online.com - Ada yang mengejutkan dari hasil survei yang dilakukan oleh Intisari bekerjasama dengan bagian Riset Kelompok Majalah, Kompas Gramedia, beberapa bulan yang lalu. Riset itu menunjukkan bahwa tujuh dari sepuluh orangtua pernah “mengajari” anaknya berbohong. Wow!
Jika ditanya, mereka mungkin akan menjawab, “Kan tidak ada apa-apa berbohong untuk kebaikan si anak.” Kemungkinan lainnya, mereka terpaksa berbohong karena kondisi tertentu. “Orang dewasa terkadang mempunyai kecenderungan berbohong terhadap anak-anak. Terutama dalam kondisi tertentu,” ujar Mira D Amir, psikolog keluarga di LPT UI.
Meski demikian, tidak serta-merta Mira sepakat dengan kebohongan-kebongan—dengan alasan apa pun—yang dilakukan orangtua. Tidak terlalu menjadi masalah jika si anak masih kecil dan belum bisa membedakan mana yang bahong dan tidak, tapi akan menjadi persoalan jika si anak sudah mulai bisa berpikir.
Bagi Mira ada dua kemungkinan saat anak mulai bisa memilah, sementara orangtua masih suka berbohong: anak melawan dan anak akan meniru. “Yang menjadi masalah adalah jika kebiasaan ini menurun ke anaknya. Ini akan menjadi habit si anak, bahkan sampai ia dewasa,” tutur Mira.
Apa yang dikatakan oleh Mira, disepakati juga oleh Novita Tandry, konsultan pendidikan anak yang juga Direktur Tumble Tots Indonesia. Menurut Novita, apa pun alasannya, tidak ada toleransi bagi orangtua untuk berbohong kepada anak-anaknya.
“Memang terkadang latar belakang orangtua mempengaruhi bagaimana cara ia mendidik anaknya. Orangtua yang gemar berbohong, bisa jadi dulu orangtuanya juga melalukan hal serupa,” ujar Novita. “Tapi ini soal intregitas, bahwa bohong, ya, bohong. Bohong tidak sama dengan kebaikan.”
Soal pendidikan anak, mengutip Kak Seto, bahwa anak adalah peniru paling baik di dunia, terutama terhadap orang-orang di dekatnya, keluarganya, orangtuanya. Jika orangtuanya saja berbohong—disengaja atau tidak—bagaimana dengan anak-anaknya?
“Untum melatih anak jujur, sangat sederhana: katakan A itu A, B itu B, jangan A itu B. Sesederhana itu, ujar Sarjana Psikologi Pendidikan dari Universitas New South Wales.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR