Dunia Maya yang Merenggut Nyawa: Kisah Tragis Amanda Todd (1)

Moh Habib Asyhad

Editor

Dunia Maya yang Merenggut Nyawa: Kisah Tragis Amanda Todd (1)
Dunia Maya yang Merenggut Nyawa: Kisah Tragis Amanda Todd (1)

Intisari-Online.com -Semua terlihat sempurna; banyak teman, keluarga yang mencintainya, pintar, cantik pula. Namun, Amanda Todd membuat kesalahan besar di usia 12 tahun. Kesalahan yang membuatnya menjadi sangat menderita, depresi berat, yang mengubah hidup Amanda sampai tiga tahun berikutnya; karena dunia maya telah merenggut nyawanya.

***

Suatu siang yang cerah di bulan Oktober 2012, seorang gadis mengajak ayahnya untuk membuat tato. Amanda ingin menato pergelangan tangannya dengan tulisan “stay strong”. Sedangkan ayahnya, Norm Todd, berencana membuat tato aksara China yang berarti “kekuatan”. Apa nyana, keinginan Amanda itu menjadi permintaan terakhirnya yang tak pernah terwujud.

Amanda Todd adalah seorang gadis cantik yang ceria. Masa kecil bersama orangtuanya, Norm Todd dan Carol Todd, dilaluinya di Port Coquitlam, di pinggiran kota Vancouver, Kanada. Layaknya anak-anak lain, Gadis yang dilahirkan pada 27 November 1996 itu senang menghabiskan waktu bersama teman sebaya. Bukan cuma di dunia nyata saja, Amanda banyak menghabiskan waktu bergaul di dunia maya. Hal yang lumrah dilakukan anak-anak yang hidup di generasi digital.

Mulai dari media sosial seperti Facebook, Amanda mendapatkan banyak kenalan. Karena sifatnya yang mudah bergaul, ramah, dan cantik, tak jarang pertemuan di media sosial saja tidak cukup. Perbincangan beralih ke media obrol di dunia maya, seperti chatting dan video-calling.

Semua terlihat sempurna; banyak teman, keluarga yang mencintainya, pintar, cantik pula. Namun, Amanda membuat kesalahan besar di usia 12 tahun. Kesalahan yang membuatnya menjadi sangat menderita, depresi berat, yang mengubah hidup Amanda sampai tiga tahun berikutnya.

Sekejap namun fatal

Cerita berawal ketika dia mendapatkan teman seorang pria di media sosial, sebut saja namanya Mr. X. obrolan yang intens antara Amanda dan Mr. X mulai terbangun secara intim. Karena kepiawaiannya bermain kata, Mr. X berhasil membujuk Amanda untuk melakukan video-chat. Wajah cantik gadis lugu ini bisa dilihat oleh Mr.X.

Sampai suatu malam, Amanda melakukan hal yang ia sesali seumur hidup. Pada obrolan kali itu, Mr. X mulai mulai membujuk Amanda untuk membuka kaos, memperlihatkan bagian tubuh vitalnya. Gadis lugu berusia belia itu ternyata termakan bujuk rayu busuk Mr. X. Ia menaikkan sedikit kaosnya, sehingga buah dadanya terlihat. Hal ini hanya terjadi beberapa detik saja, sebelum Amanda cepat-cepat menarik kaosnya untuk menutupi dadanya.

Bagi remaja berusia belasan, keputusan tanpa pikir panjang sepertinya menjadi masalah yang sudah jamak. Sama halnya Amanda, awalnya ia berpikir hal itu tidak akan berdampak apa-apa, toh pria yang dia kenal tersebut betutur ramah. “Remaja baik-baik,” begitu mungkin penilaian Amanda terhadap pria yang ngobrol dengannya. Dia tak sadar, perbuatannya itu merupakan terbukanya pintu bagi kekelaman yang menghantui Amanda di hari-hari berikutnya.

Pria tersebut ternyata tidak sebaik yang disangka Amanda. Mr. X mulai meneror Amanda dengan kiriman pesan melalui Facebook yang meminta Amanda untuk melakukan “pertunjukan” di depan kamera buat pria bejat ini. “Jika tidak,” ancam Mr. X, “aku akan menyebarkan foto dirimu mempertunjukkan buah dada ke semua orang yang kau kenal.” Ternyata, Mr. X sempat merekam kejadian beberapa detik itu.

Di kotak pesan itu juga Mr. X membeberkan data Amanda: alamat rumah, sekolah, nama-nama orangtua, saudara, teman, dan banyak data lain yang entah dari mana dia dapatkan.

Amanda panik. Dia tidak mau foto pribadinya tersebar ke semua orang yang dia kenal. Tapi dia juga tidak mau melakukan kesalahan bodoh kedua kalinya, dengan mempertunjukkan dirinya telanjang ke “orang baik-baik” yang ternyata brengsek itu.

Di tengah kekalutan, dia memutuskan untuk melakukan pilihan yang kedua; menolak permintaan Mr. X dan berdoa semoga ancaman yang dilayangkan melalui pesan Facebook itu hanya gertakan belaka. (J.B. Satrio Nugroho)