Duh, Pria Asal Banyuwangi Ini 3 Tahun Hidup dengan 4 Besi menancap di Perut

Ade Sulaeman

Editor

Duh, Pria Asal Banyuwangi Ini 3 Tahun Hidup dengan 4 Besi menancap di Perut
Duh, Pria Asal Banyuwangi Ini 3 Tahun Hidup dengan 4 Besi menancap di Perut

Intisari-Online.com - Lelaki muda itu terlentang di atas dipan kecil. Di sekitarnya banyak tumpukan kayu bekas pembuatan meubel. Kepalanya di topang beberapa bantal yang kumal.

Di bagian kiri tampak televisi tua serta kipas angin penuh debu yang berputar pelan. Ada juga tumpukan sarung di kotak kayu serta beberapa botol plastik yang diletakkan sejauh jangkauan tangan.

"Saya sudah tiga tahun seperti ini. Hanya tangan saya yang bergerak," jelas pemuda yang bernama Agus Syaifulloh kepada Kompas.com Rabu (23/3/2016).

Ia kemudian membuka sarung yang menutupi perut dan bagian bawah tubuhnya kemudian menunjukkan empat besi yang menancap di perutnya.

Ia bercerita besi tersebut di pasang pasca ia kecelakaan karena terlindas truk pada tahun 2013 lalu di Surabaya.

"Seharusnya 8 bulan terus dilepas tapi karena kendala biaya yang dibiarin saja sampai sekarang sudah ada 3 tahun," jelasnya dengan suara pelan.

Dia juga menunjukkan bekas luka yang masih terbuka di perut bagian bawah dan perut sebelah kanan. Ia mengaku masih merasa nyeri dan sering mengeluarkan cairan seperti nanah dan juga keluar belatung kecil di bagian luka.

Ia mengatakan, luka di bagian punggung tersebut karena terlalu lama berbaring. Luka itu juga bernanah dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Agar nyaman ia mengganjal punggungnya dengan beberapa lapis sarung yang dilipat.

Kecelakaan yang dialami lajang kelahiran 1989 terjadi saat dia bekerja menjadi kernet truk pada April 2013. Saat membawa barang ke Surabaya ia kelelahan lalu tertidur di bawah truk yang sedang berhenti di parkiran pabrik. Tidak sengaja Agus terlindas truk saat sopir akan masuk pabrik.

Selama seminggu Agus dioperasi hingga enam kali di Rumah Sakit Karangmenjangan Surabaya dan menghabiskan uang sebesar Rp100 juta. Ia kemudian dibawa kembali ke Surabaya oleh keluarganya dan rumah warisan satu satunya dari orang tuanya di jual untuk biaya kesehatan Agus.

"Saya anak tunggal. Ibu saya meninggal waktu kecil kalau ayah meninggal tahun 2010," jelas anak pasangan Wagiyo dan Amira.

Lelaki yang hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas empat SD tersebut mengaku sejak kecil lebih banyak hidup di jalanan dan mengerjakan apa saja untuk bertahan hidup. Ia sempat menjadi pencari uang logam di Pelabuhan Ketapang sampai mengantarkan galon minuman isi ulang.

"Terus saya diajak jadi kernet dan kecelakaan dan jadi seperti ini," ungkapnya.

Untuk kebutuhan sehari hari, dia mengandalkan Kamsuri (86) pamannya yang bekerja serabutan sebagai tukang kayu. Kamsuri juga yang menyediakan makanan untuk keponakannya.

Saat ini ia tinggal di Dusun Maron Kecamatan Gentang Kabupaten Banyuwangi bersebelahan dengan rumah pamannya.

"Kalau makanan saya kasih sehari 3 kali. Kalau ada rokok ya saya kasih rokok. Kalau kopi wajib hukumnya," jelas Kamsuri kepada Kompas.com.

Lelaki tua itu juga yang membersihkan luka serta membuang BAB dan kencing dari Agus yang dikeluarkan lewat lubang perut bagian kanan dan kiri setiap pagi.

"Saat opersi dibuatkan saluran sendiri di perut dan dikasih plastik untuk menampung kotorannya," jelasnya.

Dia sendiri sudah melakukan banyak hal agar keponakannya bisa segera dioperasi tapi selalu terbentur administrasi dan biaya.

"Sudah lapor kemana mana tapi belum ketemu jalan. Dulu dokternya pesan setelah 8 bulan suruh kembali ke Surabaya buat dioperasi lagi tapi ya itu uangnya ndak punya," ungkapnya.

Agus juga sempat menerima sumbangan kursi roda tapi saat dicoba luka di perutnya mengeluarkan darah segar. Untuk memindah Agus pun yang diangkat adalah dipannnya.

"Kalau diangkat langsung Agus teriak teriak karena sakit," ujarnya.

Dia berharap agar keponakannya segera dioperasi minimal besi yang di bagian perutnya bisa diangkat agar bisa bergerak lebih bebas.

(Ira Rachmawati/Kompas.com)