Intisari-Online.com -Eko Budi Sumantri (44 tahun), berdzikir di dalam masjid, sambil beberapa kali melihat langit. Mulutnya komat-kamit seiring tasbih di tangan yang cepat beralih tiap butirnya.Ketika awan mendung datang, ia berdiri dan menuju ruang terbuka. Sambil terus berdzikir, alumni pondok pesantren Al-Hikam, Malang, ini terlihat menengadahkan kepalanya dan meniup awan mendung tersebut. Dan, sejurus kemudian, awan terbelah dan matahari kembali menampakkan sinarnya. Ajaib? Memang begitulah pekerjaan Eko sehari-hari sebagai pawang hujan yang telah dilakoninya lima tahun. Tugasnya sederhana yakni menghalau hujan, tapi kebisaan ini sudah membawanya ke berbagai negara.Bagi sebagian orang, pawang hujan mungkin dikait-kaitkan dengan hal-hal klenik. Pawang hujan diimajinasikan seperti seorang dukun dengan aktivitas dan aksesorisnya yang “black magic”. Entah dari mana anggapan itu bermula, yang jelas Eko mengakuinya. “Pernah saya ketemu yang bisa (pawang hujan) dan salah satunya, dia pakai dupa. Ada juga yang menggunakan lisong (rokok yang tembakaunya dicampur dengan kemenyan), lombok atau celana dalam dilempar ke genteng. Tapi saya ga pernah komentar. Urusannya dia, ilmunya dia”, tutur pria yang mengaku keahliannya ini merupakan warisan keluarga.Eko bahkan merasa memiliki kewajiban untuk meluruskan persepsi salah sebagian orang itu. Menurutnya justru banyak pawang hujan yang prosesinya sangat dekat dengan agama. Sebab dia melakukannya dengan cara berdzikir dan berdoa di dalam masjid yang terdekat untuk menggeser awan. Dengan cara yang sejalan dengan agama itu saja, menurutnya masih terdapat pro dan kontra. Di bumi ini, meski hujan bisa diperkirakan kedatangannya, tetap tidak bisa dipastikan sepenuhnya. Padahal, terkadang ada orang-orang yang berkepentingan dengan cuaca yang cerah, seperti pelaksanaan suatu acara di luar ruangan atau proyek-proyek pembangunan. Walau tidak ada garansi seratus persen dari sang pawang, terbukti pengguna jasa unik ini tetap laris manis di musim hujan.