Benarkah Tak Ada Waktu?

K. Tatik Wardayati

Editor

Benarkah Tak Ada Waktu?
Benarkah Tak Ada Waktu?

Intisari-Online.com – Mirna dan Maya adalah teman selama bertahun-tahun. Mereka tumbuh bersama dan bersekolah di tempat yang sama. Kini, mereka berumur 40 tahun, dan keduanya memiliki karir yang hebat. Mereka berdua memiliki pendidikan yang sama, nilai-nilai keluarga yang sama, saling mendukung, dan posisi keuangan pun sama.

Tapi ada satu perbedaan utama. Mirna tampaknya tidak pernah memiliki cukup waktu. Ia melihat kehidupan sahabat karibnya, Maya. Mereka memiliki tanggung jawab dan minat yang sama. Maya memiliki karir bagus, ia memiliki tiga anak, ia punya hobi yang sama, salah satunya golf. Selama makan siang, Maya menceritakan kepada Mirna tentang permainan golf yang ia mainkan akhir pekan lalu.

“Maya, bagaimana kau punya waktu untuk bermain golf?” tanya Mirna. “Aku tidak pernah punya waktu, apalagi sekarang anak-anak semakin besar, dan aku pikir aku bisa punya waktu untuk bermain golf seperti yang kita lakukan saat masih kuliah. Tapi, nyatanya aku benar-benar tidak punya waktu.”

Maya menatap Mirna dan tertawa, “Mirna, kita berdua memiliki jam yang sama dalam satu hari. Kau pun memiliki waktu untuk bermain golf.”

Dengan menghela napas Mirna menjawab, “Mudah buatmu bicara. Aku tidak pernah punya waktu. Pekerjaanku menyita waktuku. Aku tiba di kantor pukul 7.30, pulang pukul 18.30. Saat aku sampai di rumah dan makan malam, itu sudah pukul 20.00. Biasanya saya membuka kembali tas kerja saya yang penuh dengan pekerjaan. Akhir pekan pun lebih banyak pekerjaan. Kau tahulah bagaimana rasanya!”

“Tentu saja, aku tahu bagaimana rasanya,” kata Maya. “Tapi apa yang akan terjadi besok jika kau jatuh sakit? Siapa yang akan mengerjakan pekerjaanmu?”

“Sakit. Siapa yang memiliki waktu untuk sakit!” seru Mirna. “Tapi kalau aku sakit, orang lain akan melakukan pekerjaan itu, aku kira.”

“Kau tahu, Mirna, aku pun seperti dirimu. Aku bekerja siang dan malam, dan tentu saja akhir pekan. Ketika aku sampai di rumah aku sudah lelah, tapi aku akan memaksa diriku untuk membacakan cerita ke anak-anak sebagai pengantar tidur mereka. Pada saat aku akan pergi tidur, lelah pun sudah pergi. Bosku pun seperti itu. Dia ada di sana pagi-pagi, hingga larut malam, dan dia selalu bekerja akhir pekan. Aku merasa, aku harus melakukan demikian, karena aku membutuhkan pekerjaan ini untuk keluargaku. Sama seperti yang kau lakukan. Tapi kemudian bosku ganti. Yang ini lebih tua dan lebih bijaksana. Tentu saja, aku tetap bekerja meski jam kerja telah usai. Suatu hari ia datang ke mejaku dan meninggalkan sebuah kartu yang tertulis kutipan di atasnya ‘Apa yang saya lakukan hari ini adalah penting, karena saya tidak akan pernah memiliki hari itu lagi’, kemudian ia pergi.

Aku duduk tertegun. Aku tiba-tiba teringat apa yang penting bagiku. Sementara pekerjaanku memang penting, tapi aku menyadari bahwa anak-anakku lebih penting. Aku juga menyadari bahwa waktu bagiku adalah penting. Waktu itu pukul 16.30, jam resmi kantor tutup. Aku membenahi meja, merasakan rasa bersalah, tapi aku memaksakan pulang. Aku tiba di rumah pukul 17.00. Anak-anak dan suamiku terkejut. Aku benar-benar memiliki malam yang indah. Bukan hanya membaca cerita sebelum tidur saja buat anak-anak.”

Mirna menatap temannya serius dan kemudian menanyakan tentang pekerjaan Maya yang ditinggalkannya di meja.

Maya menjawab, “Aku tidak pernah memikirkannya, tapi aku benar-benar mengerjakannya pada hari berikutnya hingga beberapa pekan. Ketika keesokan harinya aku ke kantor, aku mengucapkan terima kasih pada bosku atas kutipan yang diberikannya. Ia bercerita tentang nasihat ayahnya yang telah memberinya bertahun-tahun lalu ketika ia selalu sibuk bekerja siang dan malam. Ia menyebutnya sebagai ‘keseimbangan hidup’. Ayahnya menyuruhnya untuk menjaga keseimbangan dalam karanya, dalam kehidupan keluarga, dan dalam waktu untuk dirinya sendiri. Ia menjelaskan kepadaku, meski semua aspek kehidupan kita penting, namun tanpa keseimbangan, engkau menjadi kecanduan, dan seperti semua kecanduan, kau pun akan kehilangan.

- Tidak ada keseimbangan dengan keluarga, kau pun akan kehilangan mereka.

- Tidak ada keseimbangan dalam pekerjaan, maka kau akan kehilangan pandangan dan kehilangan fokus pada aspek-aspek penting dari pekerjaan

- Tidak ada keseimbangan dengan diri sendiri, maka kau pun akan lupa siapa dirimu dan ketika pensiun malah tidak memiliki apa-apa. Lebih buruk lagi, jika kehilangan pekerjaan, kau pun akan kehilangan identitas.

Ia pun melanjutkan untuk memberitahuku bahwa siapa kita bukanlah apa yang kita lakukan untuk mencari nafkah. Siapa kita adalah keseimbangan dari keluarga kita, pekerjaan kita, dan diri kita sendiri. Itu benar-benar nasihat terbaik yang pernah kuterima!”

Sambil menyeruput tehnya, Mirna bertanya, “Tapi aku kan tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku pada pukul 4.30!”

Maya tampak serius padanya, “Ketika kau bekerja pada hari Senin, lihat apa yang ada di meja. Buatlah daftar segala sesuatu yang harus dilakukan dan dampaknya bila tidak dilakukan. Fokuslah pada tiga poin yang paling penting. Lakukan itu setiap hari selama seminggu. Setelah beberapa saat, kau akan lebih fokus pada pekerjaan karena memiliki keseimbangan. Ada kalanya kita bisa kehilangan keseimbangan, tapi secara sadar fokus pada keseimbangan dengan selalu mengecek.”

Mirna tersenyum pada temannya, “Terima kasih dengan obrolannya. Kita berteman telah lama. Aku bersyukur punya keseimbangan dengan persahabatanmu. Kau telah meyakinkanku. Aku akan meninggalkan pekerjaan di tasku setiap akhir pekan. Dan pada hari Senin, aku akan membuat daftar hal pertama. Mungkin pekan depan, kita bisa bermain golf bersama.”