Intisari-Onine.com - Kisah ini dimuat di laman The Washington Post edisi 22 April 2014, sehari setelah ajang tahunan Maraton Boston. Unggahan tersebut tak lagi bercerita tentang ledakan tahun lalu yang menghancurkan maraton untuk peringatan Hari Patriot itu. Ini cerita tentang sportivitas, ketangguhan, kepahlawanan, dan ketulusan.
Tulisan ini bercerita tentang seorang pelari, lelaki asal Massachusetts yang atas permintaannya menolak disebutkan namanya, terlihat gemetar di kilometer 41 maraton. Ini pemandangan yang umum di ajang Maraton Boston.
(Baca juga: Pulitzer 2014: Antara Snowden dan Bom Boston Marathon)
Lelaki itu terlihat nyaris roboh. Kaki dan tangannya gemetar. Namun, dia adalah pelari yang sudah menempuh jarak 41 kilometer. Pada saat itu, para pelari dari kategori atlet telah lama menyelesaikan perlombaan.
Kepayahan, lelaki ini adalah satu di antara sekian ribu peserta Maraton Boston yang memang sadar betul tak akan pernah menjadi juara maraton tetapi tetap berlari. Mereka berlari karena memang mencintai lari.
Badannya gemetar hebat tepat di depan restoran The Forum, lokasi yang tahun lalu tempat salah satu bom meledak dan menewaskan tiga pelari, menjelang pukul 15.00 waktu setempat seperti halnya waktu bom meledak setahun silam.
Adalah Dave Meyer (57), pelari dari kategori yang sama, berada tepat di belakang lelaki itu. Pelari asal Greyslake, Illinois, ini pun sedang dalam kondisi payah-payahnya menjelang garis finis, berlari jauh di bawah kecepatan normal. Buat dia saat itu, tujuannya berlari adalah menyelesaikan maraton.
"Aku sempat berhenti di Boylston Street, mendongak dan melihat garis finis. Saat itu aku berpikir, terima kasih Tuhan. Aku hanya fokus untuk sampai ke sana dan mendapatkan beberapa tetes air," tutur Meyer. Tertatih, Meyer sampai ke tempat lelaki tak bernama itu gemetar. Dia melihat bagaimana kaki sesama pelari itu bergetar hebat.
"Aku sedang mendekati sekitar kilometer 41. Aku melihat pelari lain di depanku, kakinya goyah. Dia tampak seperti hendak roboh...," ujar Meyer sembari menerawang. "Pada saat itu, waktu tak ada lagi bedanya buatku... Aku tahu betapa pentingnya buatku menyelesaikan maraton ini. Jadi aku tahu, penting juga untuk lelaki itu menyelesaikan maraton ini."
Maka, Meyer pun menyangga pelari yang nyaris roboh itu, melingkarkan lengan kiri lelaki itu ke bahunya. Bersama-sama, pikir Meyer, mereka berdua akan mampu menyelesaikan Maraton Boston.
"Aku terus berkata kepadanya, kita akan berhasil. Kita akan berhasil tetapi Anda harus membantuku untuk sampai ke sana," lanjut Meyer. Tapi pelari ini sudah tak bisa apa-apa. Dia sudah kehabisan energi. Pegangan Meyer pun tergelincir tangan yang basah oleh keringat. Meyer sudah nyaris menyerah membantu lelaki itu. Kaki Meyer sendiri pun sudah hampir tak sanggup lagi bergerak.
"Aku berpikir, aku akan jatuh bersama dia," kenang Meyer. Namun, Jim Grove tiba. Tak beda dengan Meyer, Grove adalah veteran pelari maraton, sudah menjajal 10 maraton penting di Texas. Lagi-lagi, tak beda dengan Meyer, dia sedang mengalami maraton yang buruk saja.
"Ini maraton terburukku untuk lariku," kenang Grove, Selasa. "Ini maraton terberat yang pernah kujalani tapi tak ada yang bisa menghentikanku untuk menyelesaikannya." Mendekati penanda kilometer 41, Grove berhenti menekuri kakinya yang berlari lemah, mendongak, dan melihat dua orang berjuang di depannya.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR