Intisari-Online.com -Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil ke Tana Toraja yang dia tulis diIntisariedisi Oktober 1978 dengan judul asli "Mengunjungi Tana Toraja". -- Setelah Enrekang (236 km) ada 9 km jalanan yang rusak agak berat. Di Kotu (247 km) untuk ketiga dan terakhir kali bus berhenti waktu makan siang. Yang terkenal disini "baje" semacam lemper dan buah-buahan (pepaya dan pisang). Dari desa ini jalan yang agak sempit makin "ganas" liku-likunya. Jalan yang bersisi jurang ini tidak memakai batas pengaman. Dapat dimengerti betapa bahayanya keadaan itu bila si pengemudi lengah.
Para pengemudi kendaraan bermotor di Sul-Sel umumnya berdisiplin baik dan toleran. Bila akan saling melewati, bukan saja masing-masing mengurangi kecepatan, bahkan salah satu berhenti untuk memberi kesempatan lewat kepada yang lain, berhubung jalan agak sempit. Sifat mengalah ini dapat dicontoh oleh para pengemudi di Jawa.
Daerah Tana Toraja dimasuki melewati sebuah pintu gerbang dengan tulisan "Selamat Datang". Setelah melewati Makale (310 km) pukul 4 sore tibalah kami di Hotel Marlin, Rantepao (328 km) di mana kami bermalam. Rantepao terletak pada ketinggian kira-kira 800m. Arus listriknya dibangkitkan dengan tenaga diesel dan dipasang hanya dari pukul 17.00- 24.00.
Esok paginya pukul 8 siaplah sebuah Jeep dengan pengemudi dan pemandunya. Kebetulan ada sepasang suami isteri Jerman yang ingin juga ikut tour. Mereka setuju membagi ongkosnya dengan kami. Sudah tentu kami tidak keberatan. Dari percakapan dengan turis Jerman itu diketahui bahwa mereka ke Indonesia hanya ingin mengunjungi Bali, Borobudur dan Tana Toraja. Mereka hanya transit di Jakarta tanpa menginap. Menurut mereka, dikabarkan Jakarta kotor dan mahal. Rantepao yang jalannya (bahkan di depan hotel) tak beraspal dan becek, dikatakan tempat terbersih, karena tak kelihatan sampah berserakan seperti di tempat lain yang mereka lihat di Indonesia.
Keliling di Tana Toraja kami berenam dalam sebuah jeep yang cukup baik, menuju desa Lemo sejauh 11 km sebelah selatan Rantepao, sekilometer dari jalan besar. Memang, yang saya lihat di Lemo ini sesuai dengan gambaran yang membekas di benak saya sejak masih di MULO. Di sebuah sisi gunung batu yang menjulang hampir tegak lurus, nampak seperti jendela-jendela kayu. Di depan beberapa buah yang lebih besar nampak berdiri boneka-boneka berupa sekeluarga, terbuat dari kayu yang diberi pakaian. Bahkan ada yang berupa balkon di mana tampak berbaris anggota sekeluarga yang berpakaian rapih (kelihatannya baju–bajunya baru diganti).
Ini menunjukkan bahwa dalam lubang terdapat sebuah makam keluarga. Rupanya, makin besar balkon atau makin banyak nampak boneka yang berdiri di situ, makin beradalah keluarga itu. Cara penguburan jenazah suku Toraja dalam makam yang dipahat di gunung batu setinggi berpuluh-puluh meter merupakan suatu tradisi. Untuk mencapai tempat setinggi itu, dibuat tangga-tangga bambu bersambung. Penguburan demikian menarik perhatian. Sayang kami tidak dapat menyaksikan upacara penguburan.
Tempat kedua yang dituju ialah Siguntu, sebuah desa kira-kira 7 km sebelah selatan Rantepao. Setelah melintasi sungai Saddang melalui sebuah jembatan besi dan jalan berbatu tanpa aspal sejauh 4 km, barulah kami sampai di desa khas Toraja. Rumah-rumah berbentuk khas berderet-deret rapih dengan atap dari susunan belahan bambu. Bentuknya mirip rumah di Tapanuli. Rumah berdiri di atas batang-batang kayu, dindingnya diukir dan diwarnai khas pula.
Menurut tradisi, rumah Toraja selalu menghadap ke Utara dan dibentuk agar dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain tanpa harus melepaskan bagian-bagiannya. Bahan yang dipakai terdiri dari kayu, rotan dan bambu yang diperoleh dari daerah sekitarnya saja. Dinding diukir dengan motif yang sederhana berupa garis lurus, melengkung ataupun berombak. Cat yang dipakai dibuat dari tanah atau bahan alam berwarna hitam dengan garis putih, kuning dan merah. Yang menarik perhatian kami ialah, salah sebuah rumah tradisi itu disediakan untuk tempat bermalam para turis asing dengan biaya hanya Rp.500,- semalam untuk seorang.