Intisari-Online.com -Inilah kisah perjalanan H.O.K. Tanzil ke Tana Toraja yang dia tulis diIntisariedisi Oktober 1978 dengan judul asli "Mengunjungi Tana Toraja". -- Kami menuju ke Londa, 6 km dari Rantepao. Dari sebuah bukit kita sudah dapat melihat kuburan-kuburan agak tinggi di gunung batu. Karena di bawahnya ada gua-gua, maka bila kita berada di situ, kuburan berada di atas kepala kita, sehingga disebut kuburan bergantung (hanging graves).
Beberapa orang anak yang rumahnya tidak jauh dari situ datang membawa lampu senter dan stormking untuk disewakan kepada orang yang hendak masuk gua. Sewa sebuah stormking Rp.300,- dan sebuah senter Rp.100,- Cerdik juga anak-anak itu dalam mencari nafkah tambahan. Saya suruh seorang anak yang membawa stormking berjalan di depan untuk membuka jalan dan seorang lagi di paling belakang.
Di muka gua berjejer 6 buah tengkorak manusia yang rupanya sengaja ditaruh di situ untuk para turis yang hendak memotretnya. Di bawahnya ada tulisan yang melarang mengambil apapun dari situ. Ternyata gua alam itu berupa lorong yang sempit berliku-liku ke pelbagai ruangan yang bentuknya tak menentu.
Kami harus berjalan menunduk dan berhati-hati agar kepala tidak terbentur. Adakalanya sampai harus merangkak karena kecilnya lubang. Heran juga rasanya melihat berpuluh-puluh peti mati yang letaknya sangat tidak teratur dan hampir semua tutupnya tergeser atau dibuka. Tengkorak-tengkorak, tulang-belulang bila tidak dalam "tebela" maka tampak terpisah dan tercecer tidak teratur. Ada beberapa buah tebela berisi banyak kerangka manusia. Menurut pemandu, terdiri dari sekeluarga.
Untuk orang yang belum/tidak bisa melihat jenazah dinasehatkan jangan masuk ke gua. Masih kelihatan sisa pakaian jenazah wanita. Rambutnya yang panjang masih melekat di bagian atas tengkorak. Dalam gua itu sama sekali tidak ada bau yang luar biasa. Hawanya sejuk, dan permukaannya tidak basah. Di Londa ini ada sesuatu yang unik di dunia.
Yang khas di rumah makan ini ialah ikan bandeng bakarnya yang sedap untuk sarapan. Sepanjang perjalanan antara Ujung Pandang sampai Pare-Pare (155 km) tampak desa Bugis tidak putus-putusnya. Rumah rakyat berbentuk khas yaitu berdiri di cagak-cagak kayu. Untuk masuk pintu orang perlu memanjat tangga di samping. Terdapat 3 buah jendela menghadap depan.
Perbedaan rumah yang satu dengan yang lain hanya dalam warna dan kualitas bahan bangunan tersebut yang tergantung dari kemampuan pemiliknya. Jumlah sedan yang ditemui dapat dihitung dengan jari. Kendaraan bermotor sebagian besar terdiri dari bus mini, bus dan Jeep. Nampaknya bus yang berjalan paling laju.
Di Pare-Pare bus kami berhenti di terminal untuk kedua kalinya, namun tidak lama. Dari kota pesisir ini kemudian kami menuju ke pedalaman, ke arah timur yaitu ke Sidrap. Jalan mulai berliku-liku turun naik bukit. Daerah pegunungan memberi pemandangan seperti daerah lain di Indonesia.