HOK Tanzil Keliling Lombok dan Madura (3) : Lombok Bagaikan Tahiti

Birgitta Ajeng

Penulis

HOK Tanzil Keliling Lombok dan Madura (3) : Lombok Bagaikan Tahiti
HOK Tanzil Keliling Lombok dan Madura (3) : Lombok Bagaikan Tahiti

Intisari-Online.com -Tepat pukul 08.30 Adik Santo dengan jeep VW yang berpengemudi siap membawa kami.Sebelum berangkat, saya minta tolong melalui hotel untuk pesan tempat di GIA, untuk kembali ke Ngurah Rai pada esok harinya dengan flight pertama.Setelah memenuhkan tank bensin, melalui Ampenan menyusur ke jurusan utara.Jalan sempit dan rusak.Melalui desa Meninting: Sawah menghijau dengan banyak pohon kelapa. Setelah Batu Layar jalan makin parah.Akhirnya tiba di Batubplong. Kendatipun cuma 10 km ditempuh dalam setengah jam lebih. Pantainya indah. Di bagian selatan ada sebuah bukit batu karang yang dibawahnya tembus berlubang besar. Karenanya tempat itu disebut Batubolong.Di puncaknya ada sebuah pura. Ada sebuah terop yang cukup luas yang tentunya disediakan untuk upacara. Saat itu sepi sekali.Dua km lebih ke utara melalui jalan sebagian berlumpur adalah pantai Senggigi. Pasirnya putih nampak masih asli, indah, sepi dan damai.Pada perjalanan kembali ke Ampenan dilewati daerah perkuburan Tionghoa tua. Secara menyolok, nisan (bongpai) dicat warna-warni dan nampak dirawat baik. Tempat ini katanya termasuk obyek pariwisata.Kembali ke Ampenan, Mataram, Cakranegara, kini dengan tujuan akhir Kuta di pantai selatan Lombok, sejauh 52 km.Yang dilalui Cermen, Kediri, Puyung sampai Praya keadaan jalan masih cukup baik. Pemandangan sebagian besar berupa sawah yang hijau dengan pohon kelapa.Setelah melewati jembatan darurat menuju ke selatan. Kampung dengan bentuk rumah asli dengan atap yang tinggi dari kajang nampak seperti lumbung. Jalan banyak rusak.Di Sengkol pada hari Kamis itu ramai sekali. Rupanya hari pasarnya. Lalu-lintas dan manusia berjubel. Jeep kami harus merambat. Tidak beda dari sibuknya hari pasar di tempat lain.Namun yang khas adalah model pakaian banyak wanita (tua) berupa baju "lambung", berwarna hitam, gobeh, pendek, bagian belakang separuh, bersarung hitam. Banyak orang lelaki nampak menginang juga.Mulai Rembitan, melintasi daerah perbukitan pada ketinggian sekitar 200 m. Pemandangan hutan tidak banyak. Setelah melalui perkampungan dengan kebun kelapa dan pisang mulai menurun ke daerah pantai Kuta.Kelihatan banyak perahu nelayan. Menelusuri jalan ke timur sedikit tibalah kami di bagian pantai yang disediakan untuk rekreasi. Ada 5 buah terop kecil yang beratap kajang berjajar dekat pantai untuk meneduh. Saat itu pukul 12, sangat sepi.Pemandangan pantainya bersih, masih murni dan indah sekali.Tak ada orang yang berjualan di situ. Membeli air buah kelapa saja tak berhasil di daerah yang banyak pohon kelapanya! Sama sekali tak ada usaha komersial penduduk.Sekarang saya tak heran mengapa ada keluarga orang asing (Australia) yang sepesawat dengan kami ke Lombok. Buatnya Bali sebagai obyek pariwisata sudah tidak asli lagi, berlainan sekali dengan keadaan di Lombok ini. Begitupun kata kawan-kawan dari Kanada dari PU yang menganjurkan kami ke Kuta ini.Membandingkan Bali dengan Lombok sama seperti membandingkan Hawaii dengan Tahiti.Angin sepoi-sepoi membuat kami mengantuk. Sayang tidak ada persediaan jajan atau minuman. Setelah seperempat jam kami bergegas meneruskan perjalanan kembali. Perut mulai lapar. Jalan pulang agak lebih cepat dan langsung menuju rumah makan Taliwang lagi.Pukul 14.30 kami sudah kembali di hotel dan langsung tidur karena lelah. Didapat kabar bahwa keberangkatan kami esoknya telah "OK".Petang itu, dengan jeep yang tersedia kami mengunjungi rumah adik-adik baru kami.Rencana kami 8 orang ialah makan di sebuah hotel-restauran pinggir pantai. Nampak mewah menurut ukuran Lombok. Untuk 8 orang sementara kami pesan 8 macam hidangan "Chinese and European Food". Sambil mengobrol menunggu masakan selesai.Sewaktu siap, hampir berbarengan diletakkan di atas meja tiap macam 2 porsi dan nasi untuk 8 orang!Melihat belasan porsi yang penuh menutupi meja, hilanglah selera saya. Barangkali pelayan restoran menganggap kami belum makan seminggu ataukah "mumpung".Kami sendiri mempunyai warung. Bila ada tamu yang memesan hidangan yang jumlahnya kami anggap berlebihan, kami nasihati untuk pesan nanti saja kalau benar-benar kurang. Tidak heran bila makanan sangat berlebih-lebihan. Bahkan yang sedang dimasak langsung disuruh bungkus saja.Pada akhirnya, saya minta agar semua sisa dibungkus berikut nasi yang hampir tidak tersentuh. Mengingat kaum yang kekurangan, sisa tadi tentu akan bermanfaat.Malam makin larut sehingga sukar mencari makanan yang cocok untuk mengganjal perut lapar saya.Di sebuah lapangan yang banyak penjajanannya dibeli kue putu yang cocok untuk saya. Adik-adik kami membagi-bagikan nasi dan sebagainya kepada beberapa anak yang diterimanya dengan gembira.Pukul 22.00 kami kembali di hotel dan saling berpamitan karena esoknya kami akan meninggalkan Lombok.--Inilah cerita H.O.K. Tanzil saat mengelilingi Lombok dan Madura yang dia tulis di Majalah Intisari edisi Mei 1981 dengan judul asli "Keliling Lombok dan Madura".