HOK Tanzil ke Banda Aceh (3): Berharap Nonton TV

Birgitta Ajeng

Editor

HOK Tanzil ke Banda Aceh (3): Berharap Nonton TV
HOK Tanzil ke Banda Aceh (3): Berharap Nonton TV

Intisari-Online.com -H.O.K. Tanzil sebagai seorang penyelidik yang tekun, sudah diketahui dalam kalangan kedokteran. Pengalamannya sebagai orang yang suka berkelana dunia naik mobil, ditulis dalam Intisari bulan April 1977. Bulan Juli yang lalu ia berangkat lagi dengan copilot yang sama: Ny. Tanzil.Kali ini menuju ke Banda Aceh. Rekan perjalanan lain adalah sebuah mikrobus VW yang kali ini angkat bicara. Bahwa keindahan pemandangan di Sumatera bisa dibanggakan, kita semua sudah maklum. Yang dilaporkan sekarang terutama keadaan jalan di daerah itu yang belum banyak dilalui orang.--Setelah mengaso semalam, keesokan harinya, hari ke lima jam 7 pagi mulailah perjalanan yang sangat berat. Jarak 100 km ke Muara Rupit diawali dengan jalanan sepanjang 8 km yang beraspal. Lalu jalanan silih berganti tanpa aspal, yang rusak berat di beberapa tempat. Ada kalanya lantaran aspal licin saya melaju, tapi mendadak terdapat lubang-lubang besar yang tak dapat dielakkan sehingga saya terhempas sampai pening rasanya.Mulailah sekerup-sekerup saya longgar sampai memberi suara yang menjengkelkan. Kini sudah tidak bergairah lagi mendengarkan radio/tape karena suaranya kalah oleh denyitnya saya.Setelah 3 jam lebih sampailah saya di Muara Rupit, di mana saya berhenti di bengkel sederhana untuk mengeratkan sekerup-sekerup. Jalanan yang rusak ini terdapat sampai Sarolangun 69 km lagi. Di dusun ini saya dapat diangkat dengan Pelayangan (ferry) yang memakai 2 buah motor dengan biaya Rp. 500,-.Selama menunggu giliran saya dibelikan bensin dari jerrycan. Berkat pengalaman, bensin disaring dengan saputangan, untuk mencegah pengotoran yang terbukti beralasan. Setelah menyeberang, jalanan ke Bangko sejauh 80 km, walaupun tidak beraspal tapi cukup rata, hanya sebagian saja yang rusak agak berat terutama pada jembatan-jembatan kecil yang terdiri dari dua jalur papan beralas batang-batang pohon dan beberapa buah sudah lapuk. Di jalanan terpaksa beberapa kali saya berhenti karena mesin mati bila dioper ke versnelling I pada jembatan-jembatan kayu. Dengan susah payah saya sampai juga di Bangko jam 16.00. Di sebuah persimpangan saya mogok lagi, namun kali ini mesin tak dapat hidup lagi.Setelah dicoba beberapa kali dan masih gagal, bos saya menanyakan kepada orang-orang

yang berkerumun apakah dan dimanakah ada bengkel mobil. Mereka semua membantu mendorong saya sejauh kl. 100 meter. Pak montir berusaha memberi pelayanan sebaik-baiknya. Selama menunggu mendinginnya mesin diperoleh keterangan bahwa Bangko ini berpenduduk kl. 5000 orang, tidak mempunyai bioskop atau hiburan lain, sehingga melihat kami adalah suatu kejadian luar biasa.

Setelah mesin saya dingin, dicoba untuk menghidupkannya tapi gagal. Coil diganti baru (khusus menyuruh orang lain mencarinya). Masih belum berhasil. Begitupun setelah platina, kondensor dan busi-busi diganti baru! Haripun mulai gelap. Pak montir menegaskan bahwa ia akan berusaha menyelesaikan tugasnya biarpun harus melembur. Diusahakan memanggil montir lain yang mengerti mesin VW. Kini spoeier bensin dibersihkan, sebab benar kotor. Karena masih belum berhasil dicari-cari penyebab kerusakan. Memang kelihatan ada oli yang membasahi dasar mesin. Hal inilah yang disalahkan dan dikatakan bahwa harus turun mesin, pakking harus diganti. Dan barang ini hanya dapat diperoleh di Jambi atau Padang. Ke sana saya naik bis makan waktu sehari. Sehingga disimpulkan bahwa saya harus beberapa hari di Bangko untuk dibetulkan.

Bos saya sudah kebingungan. Harus dicoba agar mesin hidup dan nanti semuanya dibetulkan di Padang. Tapi sekalipun diutak-atik, mesin tak dapat hidup. Secara kebetulan delco dinaikkan, maka langsung mesin hidup! Benar-benar seperti mujijat! Semua orang girang dan bersorak!Penonton menunggu di sekitar saya untuk mencoba melihat TV yang tadinya dijanjikan akan dipasang bila saya sudah dibereskan. Kini giliran bos saya mencoba TV yang tentunya tak mungkin menangkap siaran yang jauh dari mana-mana. Dengan agak kecewa kami berpamitan dari khalayak ramai. Oleh montir diantarkan ke sebuah penginapan terbaik jam 21.30, yaitu Hotel Saroja. Memang terasa sekali bahwa semua ingin membantu dalam segala hal, tanpa mengharapkan imbalan.

Di hotel lampu listrik padam pada jam 22.30 (ini suatu kebiasaan). Jam 6.30 pagi pada hari ke-enam meluncurlah saya ke jurusan Padang yang kl. 175 km dengan kepercayaan lebih tebal. Jalanan tanpa aspal ini sampai Muara Bungo sejauh 92 km lagi. Bagian pertama 28 km sampai Rantau Panjang agak rata sehingga saya bisa meluncur 50-60 km per jam yang menyebabkan debu. Untuk kedua kalinya saya harus naik Pelayangan.Kemudian ke Senemat yang 40 km itu, jalanan lebih rusak disertai dengan banyak sekali jembatan-jembatan kecil yang hanya berupa dua jalur papan, bagian tengah berlubang sehingga memerlukan perhatian. Di jalanan yang rusak berat saya terperosok ke dalam sebuah lubang besar sehingga menyebabkan sesuatu yang tak beres dengan kemudi saya. Terdengar bunyi kelotakan (kemudian ternyata bahwa stabilisator bengkok). Hal ini menyebabkan saya dihentikan berkali-kali untuk mencari sebab yang tidak diketahui bos saya.Di Senemat saya harus naik Pelayangan untuk ketiga kalinya dan yang terakhir. Dari sini ke Muarabungo yang 22 km itu jalanan tanah agak rata lagi sehingga saya meluncur dengan mengakibatkan debu. Akhirnya saya dibelikan bensin lagi dari jerrycan karena tidak ada pompa Pertamina.