Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (2): Aturan rancu dengan diskriminasi

Mayong Suryo Laksono

Editor

Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (2): Aturan rancu dengan diskriminasi
Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (2): Aturan rancu dengan diskriminasi

Intisari-Online.com -Penolakan Tiger Air kepada penumpangnya yang tunanetra, Hendra Jatmika Pristiwa (38), di Bandara Husein Satranegara, Bandung, 21/10 lalu, mengingatkan peristiwa yang sama terhadap Deny Yen Martin Rahman di Bandara Soekarno Hatta pada 30/7.Deny, juga penyandang tunanetra, diturunkan dari Sriwijaya Air SJ 268 menjelang penerbangan ke Surabaya. Padahal ia tidak mengalami masalah sejak check-in sampai boarding. Alasannya, pihak Sriwijaya Air mengharuskan ada pendamping bagi setiap penumpang yang mengalami hambatan fisik.Itu sebuah aturan teknis yang dikeluarkan setiap maskapai. Sementara Undang-undang No 1/2009 tentang Penerbangan, khususnya Pasal 134, menegaskan bahwa setiap perusahaan penerbangan harus membantu dan memberi keleluasaan bagi para penyandang disabilitas, orangtua, anak-anak di bawah 12 tahun, juga orang sakit."Harusnya pihak penerbangan membantu. Keharusan penyandang disabilitas didampingi itu cara perusahaan mengambil keuntungan saja. Ini diskriminasi," kata Ketua Asosiasi Penyandang Tunanetra Indonesia (Didi Tarsidi) seperti dikutip The Jakarta Post (23/10).Secara tersirat, pasalUndang-undang itu memerintahkan kepada awak pesawat untuk membantu penumpang penyandang disabilitas. Tapi karena tidak tegas, pihak maskapai bisa beralasan tidak punya tenaga yang cukup untuk membantu penumpang orang per orang. Itulah makanya, dengan enteng Tiger Air hanya mengajukan Contract of Carrier (COC), kontrak antara maskapai dengan penumpang yang dituliskan di tiket penerbangan, dan tidak mengganti uang tiket Hendra. Lagi pula mereka punya dalih, aturan di Singapura juga menyatakan, setiap penumpang pesawat terbang dari dan ke Singapura yang menyandang disabilitas fisik harus didampingi. Tapi tentu saja, tak semua kaum disabel merasa perlu didampingi. Malah sebagian ingin mandiri.Aturan yang rancu dengan diskriminasi.