Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (3): Perlukah Tunanetra Didampingi?

Mayong Suryo Laksono

Editor

Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (3): Perlukah Tunanetra Didampingi?
Lagi, Tunanetra Ditolak Naik Pesawat (3): Perlukah Tunanetra Didampingi?

Intisari-Online.com -Penolakan Sriwijaya Air kepada Deny Yen Martin Rahman (30/7) dan Tiger Air kepada Hendra Jatmika Pristiwa (21/10) memunculkan wacana pemikiran baru mengenai perlakuan perusahaan penerbangan (tentu saja juga jasa transportasi lainnya) terhadap penyandang disabilitas.Pasal 134 Undang-undang No.1/2009 tentang Penerbangan, misalnya, mengharuskan pihak maskapai membantu dan memberi kemudahan bagi penumpang yang sakit, orangtua, anak-anak di bawah 12 tahun, dan para penyandang hambatan fisik.Rupanya pasal-pasal itu belum sepenuhnya dijalankan (dan terancam tidak bisa diterapkan) lantaransetiap perusahaan penerbangan memiliki kebijakan sendiri yang tertuang dalam Contract of Carrier (COC) dalam hubungannya dengan para penumpang. Rata-rata maskapai mensyaratkan setiap penumpang dengan hambatan fisik harus didampingi.Hal itu kadang menjadi kesulitan di tingkat pelaksanaan, sebagaimana dialami Deny dan Hendra. Di satu sisi, para penyandang disabilitas seperti mereka pasti sangat ingin mandiri, namun di sisi lain ada aturan yang seolah tak memberi mereka kesempatan untuk mandiri. Dan secara bisnis berarti keuntungan pula - mengingat si penyandang disabilitas harus menyediakan tiket bagi pendampingnya.Sebuah aturan mestinya berlaku secara umum dan tidak diskriminatif. Mestinya pula sebuah aturan berisi penjelasan rinci, misalnya menyebut jenis hambatan fisik apa yang tidak memungkinkan seseorang pergi sendiri dengan moda transportasi tertentu. Kalau tidak, masalah serupa akan berulang-ulang, dan sepenuhnya hanya mengandalkan kebijaksanaan untuk diselesaikan. Kalaulah tidak bijaksana, yang terjadi adalah diskriminasi. Dan bagi para penyandang disabilitas, itu sungguh menyakitkan.