Intisari-Online.com - Megah dan menjulang ke angkasa. Saya mendongak seraya menyapu perpaduan warna merah, krem, dan emas. Saya berdecak kagum. Inilah pagoda utama dengan tujuh tingkat - yang memikat hasrat fotografi saya.
Bangunan yang di dalamnya terdapat 10.000 patung Buddha menjadi lambang peninggalan peradaban masa lalu sekaligus kehidupan yang majemuk di wilayah Penang. Saya berada di dalam kompleks rumah ibadah agama Buddha yang disebut, Kek Lok Si.
Arsitektur bangunan kompleks kuil ini memang menunjukkan kemegahan peradaban Buddha yang telah menyebar di wilayah Asia Tenggara. Beow Lean, pebisnis asal Fujian, Cina, yang mengabdikan diri dalam ajaran Buddha ini adalah tokoh di balik pembangunan kuil.
Ketika menjejakkan kaki di Penang tahun 1885, ia ditawari oleh pimpinan Kuan Yin Teng, kuil tertua di wilayah ini. Pada akhirnya, Beow ingin membangun sebuah kompleks kuil di perbukitan di wilayah Air Itam. Dengan bantuan lima orang taipan lokal, pembangunan kuil dimulai pada 1890.
Menembus kemacetan akhir pekan di Air Hitam, saya mengendarai motor menuju kaki bukit, awal petualangan saya di kuil Kek Lok Si. Vista kompleks tampak luas dan megah. Letaknya menghadap ke timur, maka waktu terbaik untuk memotretnya pada saat pagi hari.
Selain pagoda utama dan sejumlah ornamen indah, saya juga mengamati patung Dewi Kwan Im dengan tinggi sekitar 30 meter. Selesai pembangunan pada 2002, patung dewi welas asih ini menggantikan patung yang sebelumnya terbakar tahun 1997. Saya berkeliling kompleks dan mencoba menangkap semangat keberagaman Penang. Waktu singkat tamasya tak menjadi rintangan saya menikmatinya.
Kuil terbesar di wilayah Penang ini menjadi tuan rumah beberapa acara besar, seperti tahun baru Imlek. Inilah saat yang tepat apabila Anda ingin mengabadikan lanskap kuil yang diterangi nyala lampu dan lilin yang ditaruh di setiap sudut. terlebih lagi, kompleks kuil terbuka selama 24 jam untuk masa 30 hari.
Yang menarik di lantai bagian bawah, terdapat toko cindera mata yang cukup lengkap. Seperti konsep dasar wisata berkelanjutan, toko ini dijadikan sentra dari buah tangan yang diproduksi oleh komunitas setempat. Inilah wujud pelestarian peradaban yang melibatkan komunitas: dari dan bagi masyarakat setempat.
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler edisi Januari 2012.
(Teguh Wicaksono / nationalgeographic.co.id)