Intisari-Online.com -Tadinya kami berniat menginap juga di Adelaide, ibukota South-Australia yang berpenduduk ± 860.000 jiwa itu. Namun sesampainya di setasiun bis Ansett Pioneer, ternyata bahwa bis ke Alice Springs, yaitu tujuan kami, dapat disambung pada saat itu juga hanya dengan menukar bis Bulls Tourists Coaches. Dan bila kesempatan itu tidak digunakan, maka hubungan bis berikutnya baru ada 2 hari kemudian. Inipun belum tentu ada tempat kosong karena banyak peminat.Untuk kami yang transit, beruntung mendapat tempat juga dalam bis no. 27. Berlainan dengan bis Pioneer yang mewah, bis Bulls yang tua itu cuma lebih bersih dari bis pasar kita di Jakarta. Banyak pula membawa barang pos yang ditumpuk di bagian belakang. Pengemudinya 2 orang. Bis ini tidak memakai alat pemanas.Karena berangkat segera (pukul 18.45), maka kami tidak sempat makan di restorannya, hanya membeli beberapa roti dan minuman. Waktu bis Bulls ini meninggalkan setasiun, tidak ada tempat yang kosong. Kota pertama yang akan dituju ialah Port Augusta, melalui jalan raya no. 1, sejauh 399 km dan menurut jadwal akan sampai pukul 23.00.Ternyata bis tua ini memang tidak dalam keadaan "sehat". Dua kali di tengah perjalanan ia mogok, masing-masing selama 15 menit dan 35 menit. Kedua sopir sibuk membetulkannya. Bahwa bis dalam keadaan "sakit" masih dikaryakan, bukan saja terjadi di Indonesia namun juga kami alami sendiri di Australia.Sementara itu untuk mengisi perut kami yang keroncongan, roti dimakan dengan panggang babi yang dibawa sebagai persediaan dari Melbourne. Akhimya pukul 23.30, setelah terlambat 30 menit, sampailah kami di PortAugusta. Di sini ada restorannya. Sebagian besar penumpang turun di sini.45 menit kemudian bis berangkat dengan pengemudi yang lain, dalam keadaan gelap-gulita.Tidak heran kalau bis Ansett Pioneer tidak (mau) melayani lin ini, karena antara Port Augusta dan Alice Springs yangjaraknya 1370 km itu, jalannya tidak beraspal!Walaupun dalam bis kami dengar bunyi orkes maut akibat sekerup loncer karena guncangan bis di landasan kasar, kami dapat tidur seperti ayam karena letih.Pukul 2 tengah malam kami terbangun karena bis berhenti untuk pertama kali di depan pos polisi. Seorang petugas masuk ke dalam bis, sambil meneliti para penumpang, yang dihitungnya sekalian. Ternyata kami berada di Woomera. Bis ke sini hanya untuk menurunkan pos. Konon, tiada seorang pun yang tidak berkepentingan boleh keluar dari bis. "Police Check Point" ini perlu karena akan memasuki "Woomera Area", daerah tempat percobaan peluncuran roket.Perjalanan diteruskan dengan pergantian pengemudi Jagi. Saya tak tahu, apa yang terjadi (karena tertidur) sampai bis tiba di Kingoonya pukul 06.30. Menurut jadwal harus sampai pukul 04.45!Setelah ganti sopir perjalanan dilanjutkan melalui dataran rendah yang kering. Tampak hanya sisa pohon-pohon kering tanpa daun. Beberapa kali kami lihat binatang kangaroo sebagai selingan yang membosankan.Dusun pun hampir tak dijumpai. Sewaktu-waktu kelihatan sebuah "farm", bentuknya sederhana seperti kotak kayu besar. Sekali bis berhenti di salah sebuah farm itu, hanya untuk menanyakan sesuatu pada penghuninya. Saya tak dapat mengerti ada orang yang mau (bisa) hidup di daerah tandus yang terpencil itu! Rupanya mereka sedang menguji daya tahan badan dan rohani!--Inilah cerita H.O.K. Tanzil saat mengelilingi Australia yang ditulis di Majalah Intisari edisi Februari 1980 dengan judul asli "Keliling Australia dengan Bis Ansett Pioneer".
-bersambung-