Intisari-Online.com -Berikut ini bagian kedua dari sebagian catatan dari kisah perjalanan pilihan mantan Pjs Pemimpin redaksi Intisari, Irawati, yang setelah purnakarya banyak menghabiskan waktu dengan melanglang.
--
Karangan menarik lain dimuat tahun 1968: Kesan-kesan dari Afghanistan karya Ir. Sidharta Soemarno yang mengisahkan negara yang masih aman damai.
Salah satu objek pariwisata yang mengagumkan ialah Lembah Banyan. Letaknya 240 km sebelah barat laut Kota Kabul,
di antara jajaran pegunungan Kohl Baba dan Hindukush yang selalu berselimut salju. Salah satu peninggalan kuno paling terkenal ialah sepasang patung Buddha raksasa yang konon paling tinggi di dunia. Satu patung tinggi 52 meter dan lainnya 34 meter.
Kedua patung dipahat pada dinding lereng pegunungan yang terjal. Tapi ketika perubahan politik terjadi di akhir 1990-an, patung-patung itu dihancurkan oleh Taliban dan mengundang kecaman dari seluruh dunia.
Entah apa sekarang masih banyak orang yang berkunjung ke sana. Menurut seorang rekan yang mengunjunginya beberapa tahun lalu, situasinya agak mengerikan.
Haji Soebagyo I.N. berkunjung ke markas gerakan Negro di Alabama, AS, April 1957 tetapi baru dimuat di Intisari Juli 1976. Waktu itu tiga wartawan Indonesia, Soebagyo I.N., Djamaludin Adinegoro, dan Gusti Emran dikirim pemerintah RI ke New York untuk menghadiri sidang umum PBB yang membahas soal Irian Barat.
Selesai sidang mereka ditawari untuk keliling Amerika atas biaya pemerintah Amerika. Mereka boleh memilih tempat yang ingin dikunjungi dan siapa yang mau ditemui. Tanpa ikatan apa pun.
“Demikian selama tiga bulan kami bertiga berkelana,” tulisnya. “Tiap tiga atau empat hari kami berpindah-pindah, terbang dari kota yang satu ke kota yang lain. Mula-mula dari New York ke Washington, dari Washington menuju ke arah Selatan terus ke Timur, ke Los Angeles, ke Hollywood, dari sana ke Utara ke Frisco, belok ke Barat lagi ke Utah, Chicago ke Ithaca, kembali ke New York Lagi. Semuanya atas biaya pemerintah A.S. Tiket pesawat terbang, uang saku termasuk uang hotel dan uang makan.”
Salah satu tempat yang dikunjungi dalam perjalanan itu ialah kantor gerakan Non-Violence di Alabama. Sayang waktu itu pemimpinnya, Martin Luther King, sedang ke luar kota sehingga mereka ditemui oleh Albernathy, pewaris utama dan penerus cita- cita golongan Negro penganut nonviolence di A.S.
Di kota itu mereka menyaksikan sendiri diskriminasi. Bukan hanya di ruang tunggu, tetapi juga di toilet ada tulisan “white” dan “colour”. Dalam taksi pengemudi tanya apakah mereka bisa membayar atau tidak, karena pendampingnya pemuda negro.
Dengan terpilihnya Presiden Obama sekarang terbukti bahwa perubahan tak perlu selalu dicapai dengan kekerasan. (Majalah Intisari Edisi Khusus 50 Tahun, September 2013)