Catatan Irawati (3): Pinjam-meminjam Istri

Ade Sulaeman

Editor

Catatan Irawati (3): Pinjam-meminjam Istri
Catatan Irawati (3): Pinjam-meminjam Istri

Intisari-Online.com -Berikut ini bagian ketiga dari sebagian catatan dari kisah perjalanan pilihan mantan Pjs Pemimpin redaksi Intisari, Irawati, yang setelah purnakarya banyak menghabiskan waktu dengan melanglang.

--

Karangan menarik lain ialah karya Ny. Lily Everdijk Smulders yang tinggal di Kanada dan dimuat Juni 1971. “Dua kali saya mengunjungi suku Eskimo di Kanada,” tulisnya.

Profesinya sebagai pelukis dan yang diutamakan bukan keindahan alam, tetapi lebih segi kemanusiaan. Tempat yang dikunjungi terakhir kali ialah Igloolik. Letaknya di daerah Kanada jauh di atas lingkaran Kutub Utara. Desa itu terdiri atas rumah-rumah prefab yang dibuatkan oleh pemerintah Kanada dan diangkut kapal laut ke sana.

Padahal kapal hanya bisa berlayar beberapa minggu setahun kalau musim panas betul-betul panas. Selama 11 bulan berikutnya daerah tersebut hanya dapat dicapai dengan pesawat terbang kecil.

Keluarga Eskimo dapat tunjangan 350 dolar ditambah 8 dolar setiap anak. Padahal tak jarang ada 6 anak, karena di sana ada kebiasaan untuk menghadiahkan anak haram kepada suatu keluarga. Ibu anak- anak itu umumnya berumur 14-15 tahun.

Andaikata mereka kemudian menikah, juga tidak akan segan menerima anak tanpa ayah. Anak-anak pungut itu betul-betul dicintai seperti anak sendiri. Tak ada catatan sipil dan di daerah kutub sudah menjadi kebiasaan orang boleh meminjam istri orang lain.

“Bahkan tuan rumah tidak segan-segan menawarkan jasa baik istrinya kepada tamu atau orang yang berbuat baik,” tulisnya.

Dari dulu wanita Eskimo terkenal pandai menjahit. Kulit binatang dijahit dengan urat punggung karibu. Zaman dulu jarum jahit dibuat dari pecahan tulang tajam yang diberi lubang. Pola dan teknik menjahit diturunkan dari ibu ke anak.

Tanpa istri, laki-laki Eskimo tak dapat hidup karena perempuan yang membuat pakaian, membersihkan igloo (rumah setengah bola dari gumpalan es), mengurus supaya api dalam kudlik (tungku) tidak padam.

Ibu juga memegang peran penting dalam pendidikan anak-anak yang kelak harus mengurus orangtuanya kalau sudah lanjut usia. Kalau anak laki-laki sudah dewasa diharapkan dapat berburu untuk mereka. Anak-anak perempuan tak begitu diperhitungkan karena mereka akan kawin dan pergi.

Sebaliknya, wanita juga tidak dapat hidup tanpa suami, karena laki- laki harus berburu dan mengail untuk makan keluarga. Laki-laki juga membuat igloo, meski ibu yang membersihkan.

Penulis memang suka melukis potret di mana pun ia berada.

“Dengan demikian saya mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengetahui latar belakang etnologis mereka. Umumnya tubuh orang Eskimo tidak begitu tinggi sehingga permukaan kulitnya kurang luas dibandingkan orang kulit putih.

Jadi cocok untuk suhu di sana karena hawa dingin menyusup ke dalam tubuh melalui kulit. Mereka tak pernah mandi, tetapi mengolesi diri dengan lemak anjing laut dan rambutnya dibasahi dengan air seni.

Tak heran kalau mereka mempunyai bau khas. Bahkan orang-orang Eskimo yang sudah maju umumnya tidak merasa perlu untuk lebih memperhatikan soal kebersihan,” tulisnya.

Entah bagaimana keadaannya sekarang. (Majalah Intisari Edisi Khusus 50 Tahun, September 2013)