Intisari-Online.com - Alam selalu menyediakan pesona bagi pancaindera kita. Tak terkecuali air terjun. Beruntung saya berkesempatan mengunjungi Cataratas del Iguazu, air terjun terbesar di dunia di perbatasan Argentina dan Brasil. Di sini pula bercokol "si Tenggorok Setan".
Cataratas del Iguazu terletak sekitar 1.300 km arah utara Buenos Aires, ibukota Argentina. Lebih dari ujung ke ujung Pulau Jawa jaraknya. Tak heran kalau tersedia jalur penerbangan menuju Puerto Iguazu, kota di Argentina, tempat air terjun itu berada. Namun, kalau mau menikmati perjalanan darat, ada paket tur menggunakan bus besar.
Kami berangkat dengan bus dari San Nicolas pukul 13.00. Perjalanan dari kota kecil berjarak beberapa puluh kilometer arah utara Buenos Aires itu memakan waktu kira-kira 24 jam. Lumayan lama, sebab bus di sana maksimum hanya melaju pada kecepatan 80 - 90 km/jam. Berbeda dengan bus AKAP di Indonesia yang dapat dikebut seenak perut sopirnya.
Setiap beberapa jam bus berhenti di terminal atau pompa bensin. Namun, pada pukul 19.00 bus tidak berhenti untuk memberi kesempatan penumpang makan malam. Soalnya, di Argentina makan malam dimulai pukul 21.00.
Rombongan kami berjumlah sekitar 60 orang. Hanya saya dan suami yang berasal dari Indonesia. Delapan lainnya warga Spanyol, sisanya orang lokal. Kedua sopir dan seorang pemandu rombongan tidak dapat berbahasa Inggris. Kendala bahasa membuat kami berkomunikasi menggunakan bahasa Tarzan. Maklum, bahasa Spanyol suami saya terbatas.
Harus keset dulu
Memasuki wilayah Provinsi Misiones, sebelum mencapai Kota Puerto Iguazu, kami mengunjungi pusat penambangan batu permata. Sialnya, hujan deras memaksa kami tidak bisa ke mana-mana. Kami harus puas memandang dari jauh serta menikmati permata di toko suvenir yang ada di dekat areal penambangan.
Walaupun subtropis, iklim di Misiones mirip iklim tropis di negeri kita. Sangat berbeda dengan di Buenos Aires. Saat musim semi seperti saat itu (September - November), hujan dan panas datang silih berganti. Namun, itu katanya justru momen yang baik untuk mengunjungi air terjun itu. Soalnya, kalau datang pas musim dingin, hujan turun lebih banyak.
Tiba di Puerto Iguazu pukul 14.00. Kami bermalam di sana. Berhubung hanya kami yang tidak menginap di Brasil, maka di perbatasan sebelum pemeriksaan imigrasi, kami dijemput mobil lain untuk diantar ke hotel.
Kami menginap di Hotel Esturion. Agak jauh dari pusat kota, namun pemandangannya oke punya. Di luar jendela kamar kami tampak Rio (Sungai) Parana yang menjadi batas tiga negara: Argentina, Brasil, dan Paraguay.
Sarapan dan makan malam sudah termasuk dalam biaya kamar. Untuk makan malam kita bisa memilih dari daftar menu. Namun, harap maklum, menu Argentina rata-rata berbasis menu Eropa. Salad serta makanan penutup dapat diambil sendiri di bar makanan yang tersedia. Sedangkan untuk minuman harus membayar ekstra.
Esok harinya kami menyewa taksi untuk pergi ke Cataratas Foz do Iguacu yang berada di wilayah Brasil. (Air terjun yang terletak di Taman Nasional do Iguacu itu dikelola dua negara, Brasil dan Argentina. Orang Argentina menyebutnya Cataratas del Iguazu - ejaan Spanyol; orang Brasil menyebutnya Cataratas Foz do Iguacu - ejaan Portugis - Red.). Berhubung kami cuma sehari di wilayah Brasil, maka tidak perlu visa khusus.
Kami mengalami hal unik sewaktu melintas perbatasan. Oleh petugas kami diminta turun dari mobil. Bukan untuk diperiksa, melainkan diminta membersihkan sol sepatu kami di atas busa yang disediakan. Untuk menghilangkan kuman-kuman, katanya. Tapi saya rasa lebih mirip kita mau masuk ke rumah orang: membersihkan alas kaki di atas keset depan pintu lebih dulu.
Lokasi air terjun Iguacu Brasil tak jauh dari perbatasan, sekitar 15 menit naik mobil. Cuaca ter-nyata masih tidak mendukung, lebih sering hujan. Sebelum berangkat, kami diantar ke toko suvenir, sekalian menukar mata uang Brasil, real (AS $ 1 = 2,4 real). Mata uang real diperlukan untuk membayar tiket masuk ke lokasi air terjun.
Cobalah parrila
Akhirnya, kami tiba di Parque Nacional do Iguacu (Taman Nasional do Iguacu), tempat air terjun itu berada. Setelah mobil diparkir, kami bersama sopir yang merangkap pemandu memasuki lokasi. Harga tiket masuknya 10 real per orang, tapi si pemandu gratis.Begitu masuk, kami langsung diarahkan menuju ke bus khusus yang disediakan. Busnya cukup besar dan bertingkat. Kabin atasnya ditutupi plastik yang bisa digulung ketika cuaca panas. Cuaca cerah memang saat yang bagus untuk menikmati hawa hutan tropis. Sedangkan kabin bawah berjendela kaca besar dan ber-AC.
Perjalanan yang melewati hutan itu memakan waktu sekitar 15 menit. Ada dua tempat berhenti. Pertama, bagi mereka yang ingin mengikuti wisata safari di hutan tropis. Kedua, buat mereka yang hendak menonton air terjun Foz do Iguacu, salah satu world heritage (pusaka dunia) itu.
Karena ingin menonton air terjun, kami turun di perhentian kedua. Dari tempat itu baru kami berjalan kaki menuju lokasi air terjun. Berhubung hujan, kami pun memakai jas hujan. Ada saran, jangan gunakan payung. Selain hanya melindungi kita dari tetesan air, angin yang bertiup kencang di sekitar air terjun bisa bikin repot kita. Sekalipun cuaca cerah, jas hujan tetap andal untuk menangkis tiupan angin yang membawa air.
Di perjalanan menuju lokasi, kita bisa berhenti di tempat-tempat tertentu untuk memotret air terjun dari sudut yang bagus. Air terjun itu sungguh memikat dan amat besar. Jauh lebih besar dari yang saya bayangkan.
Menurut catatan, air terjun di Sungai Iguazu yang berbentuk tapal kuda itu tingginya 82 m dan lebarnya sekitar 4 km - empat kali lebih lebar dari air terjun Niagara di Amerika Utara. Adanya pulau-pulau berbatu dan berhutan di bibir tebing, air terjun raksasa itu terbagi menjadi sekitar 275 air terjun.
Mendekati air terjun, tersedia catwalk yang tidak seberapa panjang. Bukan catwalk-nya peragawati, melainkan tempat pengunjung berjalan agar dapat menyaksikan air terjun sedekat mungkin. Namun, tidak mungkin dekat sekali karena arusnya begitu deras.Mungkin karena itu juga orang dilarang mandi di aliran sungai atau di bawah curahan air terjun.
Sayang sekali, gara-gara cuaca buruk, air terjun Garganta del Diablo (”Devil's Throat” alias ”Tenggorok Setan”) yang sangat terkenal itu tidak bisa kami lihat dengan jelas.
Di sebelah kiri air terjun berdiri menara pandang. Dengan membayar 2 real kita dapat melihat air terjun dari atas serta melongok wilayah Argentina. Kami tak perlu turun dari menara pandang untuk menuju ke perhentian bus, sebab tak jauh dari situ ada pangkalan bus. Sayangnya, hujan deras membatalkan keinginan kami untuk ikut bersafari di hutan tropis.
Puas menikmati atraksi alam air terjun, kami makan siang. Sopir membawa kami ke restoran ”all you can eat”. Ada salad, kentang, roti maupun nasi, dan juga buah atau makanan penutup.
Kalau ingin makan daging, harus menunggu pelayan menawarkan parrila alias daging panggang; makanan khas Argentina maupun Brasil. Setiap pelayan membawa satu jenis daging yang ditawarkan dari meja ke meja. Kita bisa memilih daging ayam atau sapi.
Sewaktu pelayan datang dengan daging sapinya dan kita tertarik, bilang saja ”ya”. Pelayan akan memotongkan untuk kita. Jika tak tertarik, cukup geleng kepala saja. Selain murah, kita pun disuguhi musik hidup ala Brasil. Kalau mau ikut bergoyang, silakan saja.Usai santap siang kami memutuskan untuk berkeliling Kota Foz do Iguacu, Brasil. Suasananya lebih ramai dibandingkan dengan Puerto Iguazu di Argentina. Toko-tokonya pun lebih banyak dan kehidupan malamnya lebih berdenyut.
Dalamnya 700 m
Hari kedua cuaca cukup cerah. Matahari bersinar terang. Setelah sarapan, kami dijemput dengan minibus untuk pergi ke Cataratas del Iguazu yang terletak di Taman Nasional Iguazu di wilayah Argentina. Kali ini kami mendapat pemandu Fernando yang fasih berbahasa Inggris. Berhubung hanya kami yang tidak bisa berbahasa Spanyol, Fernando ibarat pemandu pribadi. Untuk itu ia berhak mendapat tip khusus dari kami.
Perjalanan dari hotel menuju taman nasional sekitar 30 menit. Harga tiket masuknya 9 peso (1 peso = AS $ 1) per kepala. Setelah masuk ke dalam, kami harus berjalan kaki menuju stasiun kereta yang akan membawa kami ke Cataratas del Iguazu. Hanya ada dua kereta yang disediakan sehingga orang harus sabar mengantre.
Kami beruntung saat itu tidak perlu lama mengantre. Selain itu, berhubung cuma bertiga, kami bisa menyelip di antara anggota rombongan lain. Keretanya cukup sederhana. Satu tempat duduk bisa diisi sampai empat orang. Karena jalannya lamban, tak lebih dari 20 km/jam, kami bisa menikmati pemandangan tepi hutan yang dilewati. Perjalanan itu makan waktu sekitar 15 menit.
Di stasiun kedua semua penumpang harus turun. Fernando bilang, ada tiga tempat berbeda untuk menikmati pemandangan air terjun: Tenggorok Setan, Circuito Superior, dan Circuito Inferior. Pagi yang cerah merupakan saat yang baik untuk melihat si Tenggorok Setan.
Untuk menuju ke Garganta del Diablo kami masih harus naik kereta dan turun di stasiun ketiga. Dari sini dilanjutkan naik bus khusus selama sekitar lima menit, disusul naik boat menuju catwalk di tengah Sungai Iguazu. Dalam perjalanan tampak pondasi catwalk mulai tergerus erosi sungai.
Kami mulai berjalan di catwalk yang menuju air terjun. Di setiap titik pandang yang menarik ada tempat cukup leluasa untuk berhenti dan mengabadikan air terjun.
Akhirnya, kami mencapai ujung catwalk dan benar-benar berada di atas dan pinggir air terjun. Si Tenggorokan Setan kini berada beberapa meter dari tempat kami berdiri. Dijuluki demikian karena air terjun itu berbentuk cekungan sehingga airnya seperti mengalir melewati tenggorokan. Kata Fernando, lebar tenggorokan itu 150 m dan dalamnya 700 m!
Yang menakjubkan, di sekitar air terjun terlihat banyak burung beterbangan. Mereka hidup di balik air terjun dan membangun sarang di sana. Burung-burung dan binatang di dalam taman nasional itu dilindungi pemerintah lewat undang-undang. Pengunjung dilarang memberi mereka makan.
Kami semakin kagum ketika disuguhi bermacam jenis air terjun dalam perjalanan ke Circuito Superior dan Circuito Inferior. Dalam perjalanan ke Circuito Superior kami melewati sebuah pulau, Isla Grande San Martin namanya, di tengah Sungai Iguazu. Menurut cerita, pemandangannya sangat indah. Sayang sekali saat itu wilayah tersebut tertutup untuk umum karena sedang direnovasi.
Sayang, memang. Namun, semua itu tak mengurangi kekaguman kami akan indahnya alam ciptaan-Nya. (Rachmawati/Intisari Desember 2004)