Intisari-Online.com - Selama 8 hari, 12 - 18 Juli 2007 lalu, kami menyaksikan kota yang penuh dengan gedung megah dan kehidupan yang tidak dapat dikatakan susah, saat mengunjungi negara Kim Il Sung ini.
Dengan pesawat Ilushin-62, lewat Shen Yang, RRC, kami terbang menuju Pyongyang, Korea Utara. Sebelum berangkat kami sudah diberitahu bahwa telepon genggam tidak boleh dibawa masuk ke Korea Utara.
(Baca juga: Lagi-lagi Korea Utara yang Dicurigai Sebagai Dalang di Belakang Ransomware WannaCry)
Dibawa pun percuma, karena di sana tak ada akses telepon seluler dari luar negeri. Jadi, malam sebelum masuk Korea Utara, kami semua sudah mengeluarkan kartu memory, takut kalau terselip atau tertukar. Paspor juga harus diserahkan ketika melewati pemeriksaan.
Demikianlah, setelah menyerahkan semua paspor dan telepon seluler di bandara, kami menuju The Yanggakdo International Hotel, hotel megah di tepi Sungai Taedong. Hotel itu bertingkat 47, dengan jumlah kamar 1.000 buah. Setidaknya begitu menurut brosur yang kami ambil.
Di tingkat teratas hotel yang kelihatan cukup mewah itu terdapat restoran berputar. Namun ketika malam hari kami mengunjunginya, ternyata sepi. Selain kami, cuma ada dua tamu lain. Walhasil, restoran pun tidak "diputar".
Selain itu pada lantai dasar ada kasino kecil yang dibuka malam hari, entah siang hari. Di hotel itu juga tersedia tempat pemandangan terbuka, lapangan golf seluas 9.000 m2 dan ruangan pesta berkapasitas 850 orang.
(Baca juga: Pada 2015, Menteri Pertahanan Korea Utara Dihukum Mati karena Tidur Saat Acara Resmi)
Pokoknya semua terlihat "wah". Hanya saja selama kami berada di sana tidak banyak pengunjung yang kami jumpai. Kami makan pagi tersendiri di meja panjang dan makanan disajikan oleh pelayan. Semua tampak serba sederhana, tetapi kopi susunya lezat sekali.
Selama di Korea Utara, kami ditemani dua pemandu yang fasih berbahasa Inggris. Kami memang dipesan untuk tidak keluar hotel tanpa pemandu. Bukan apa-apa, mereka hanya khawatir kami tersesat karena kendala bahasa. Orang asing yang kami jumpai selama di sana hanyalah sekelompok orang Eropa, yang tergabung dalam tim pembantu pertanian. Sekolah gratis
Keesokan harinya kami ke Pan Mun Jom melewati kota Kaesong, yang jaraknya hanya 8 km dari batas demarkasi militer itu. Pada zaman Dinasti Koryo, kota ini pernah menjadi ibu kota Korea.
Di sana terdapat kompleks industri Kaesong, sebuah kawasan industri eksklusif yang didirikan oleh Hyundai Asian. Lebih kurang 10.000 pekerja menggantungkan hidupnya di sana. Pinggiran jalan rayanya pun begitu cantik, penuh ditanami tumbuhan bunga pendek berwarna kuning.
(Baca juga: Gerakan Donasi 'Flashdisk' untuk Rakyat Korea Utara)
Untuk memasuki kompleks Pan Mun Jom, kami harus berbaris. Di dalam kompleks itu terdapat ruang penandatangan Armistice Agreement, perjanjian gencatan senjata antara dua Korea yang ditandatangani pada 27 Juli 1953, dan ruang konferensi Military Armistice Commission.
Kami juga masuk ke ruangan perbatasan yang mempunyai pintu, ke sisi Korea Selatan dan ke sisi Utara. Dalam perjalanan keliling kami melewati antara lain papan dengan tulisan Presiden Kim Il Sung (1912 - 1994) yang meninggal di kantornya sehari setelah menandatangani naskah tersebut. Tepatnya tanggal 7 bulan 7 tahun 1994, pada usia 82 tahun.
Sore harinya dalam perjalanan menuju Children Palace, kami melewati jalan-jalan yang penuh dengan apartemen untuk rakyat. Konon ada sekitar 500.000 buah. Namun gedung apartemen yang memang besar itu terlihat kumuh.
Setiap apartemen luasnya sekitar 125 m2 dan tersedia lift. Konon di daerah pedesaan, rumah-rumah juga berbentuk seragam dan tidak boleh lebih dari 3 tingkat.
Jalan-jalan kelihatan sepi, kami jarang berpapasan dengan mobil lain. Jalanan juga relatif bersih dan terawat. Begitu juga sungai, terlihat bersih. Ketika melewati kompleks olahraga, kelihatannya setiap cabang olahraga memiliki gedung sendiri.
Jadi kempo, taekwondo, tinju , bulutangkis, senam, renang, dan sebagainya itu memiliki gedungnya sendiri-sendiri. Total ada 30.000 apartemen di perkampungan olahraga itu.
Saat itu kami juga melihat banyak anak berlatih untuk Arirang, sebuah pertunjukan senam kolosal terkenal yang diadakan setiap tahun. Biasanya Arirang dimulai setiap tanggal 15 Agustus.
Namun tahun 2007 itu jadwal pertunjukannya dipercepat karena disesuaikan dengan liburan sekolah. Ada baiknya, jika tertarik untuk menonton, Anda mencari tahu terlebih dahulu jadwal pertunjukkannya. Karena bisa jadi akan berbeda setiap tahun.
Di gedung yang megah, mewah, dan luas, Children Palace, kami disuguhi pertunjukan indah musik anak-anak Korea Utara. Konon, semua murid di sini belajar di sekolah kesenian. Mereka belajar musik dan akrobat tanpa biaya.
Pendidikan di Korea Utara memang sangat diperhatikan. Pemerintah membebaskan biaya selama enam tahun di sekolah menengah. Setelah lulus sekolah, semua siswa diberi pekerjaan sehingga mandiri.
Selain itu setiap rakyat di sana mendapat jatah beras gratis sebanyak 700 g sehari. Kesehatan pun gratis. Para dokter bekerja di rumah sakit pada pagi hari dan sorenya berkunjung ke rumah-rumah penduduk.
Selain itu, konon semua rakyat Korea Utara senang makan buah segar (tetapi selama di sana kami jarang mendapat buah). Karena itu jarang ada anak yang cacat atau pakai kacamata. Sebelum kembali ke Pyongyang, kami juga sempat mampir di Koryo Museum.
(Irawati/Majalah Intisari Mei 2009)