Intisari-Online.com - Menikmati Gunung Gede-Pangrango tak harus mendaki sampai ke puncaknya. Berbekal sebuah peta, Intisari - saya dan rekan M. Sholekhudin alias Emshol - awal Juni lalu menyusuri kakinya. Ternyata, pemandangan yang kami temui tak kalah indahnya dibandingkan dengan mendaki sampai puncak.
Peta yang kami maksud adalah Puncak Trek Map Series - Ciawi, Cisarua, Cipanas, Cugenang, bikinan ahli statistik asal Amerika Serikat, Alex Korns (66). Sebagai tahap awal, dari empat panduan jalur Intisari memilih Jalur B1 Ciawi, Nangleng 7,5 km dengan tanjakan total 390 m di atas permukaan laut (dpl). Jalur ini cocok bagi pemula.
Tepat pukul 05.30, bus Patas AC Agramas jurusan Lebakbulus - Bogor berangkat membawa penumpang, termasuk Intisari, menuju Bogor. Pasca-kenaikan BBM, tarif bus ini berubah menjadi Rp 11.500,- per orang. Jalan masih relatif sepi sehingga sejam kemudian bus sudah memasuki Terminal Baranangsiang, Bogor. Masih ada waktu untuk bertemu dengan Alex Korns yang sudah menunggu di mulut Tol Ciawi bersama Pak Tomo yang mengemudikan Kijang.
Di-curhat-i soal BLT
Selama perjalanan, Alex mencocokkan koordinat yang terbaca di peralatan Global Positioning System (GPS) genggamnya dengan data di buku panduan dan peta. Dari Pasar Ciawi ke arah Sukabumi 6,7 km, belok kiri di Pasar Cimande setelah jembatan baja pertama (445 m dpl). Ikut jalan aspal 5,5 km, masuk Cimande yang dikenal dengan padepokan silat dan pengobatan patah tulang, Kampung Sasak Dua dan Kampung Cimande Girang sampai di Kampung Nangleng di bagian akhir jalan beraspal rusak.
Kalau naik kendaraan umum, naik angkutan apa pun (bus, angkot, colt) jurusan Sukabumi lalu turun di pertigaan Cimande. Diteruskan naik ojek Rp 10.000,-.
Mobil berhenti di depan warung Bu Pipi. Penapakan dimulai dari seberang warung Bu Pipi (680 mdpl), nyaris tak terlihat karena diapit semak. Jalan setapak tanah melipir turun, dan tiba-tiba disambut hamparan ladang mentimun. Kami harus jalan beriringan karena jalan hanya cukup untuk satu orang. Jalan berkelak-kelok sampai akhirnya pemandangan indah ada di depan kami: sawah terasering (berundak-undak) menghijau dengan petani-petani bercaping tekun menggarap, dengan latar belakang lapisan bukit bernuansa abu-abu di kejauhan ditentang matahari. Indahnya ....
Ada titian beton di atas sungai kecil berbatu-batu ke kaki Pasir (garis punggung) Pondokcatang di antara Ci (sungai) Mande dan Ci Sarua. Ke kanan ada batu besar, mungkin muntahan Pangrango di kejauhan sana. Di naungan batu ada tanaman berbuah kecil-kecil mirip anggur. "Itu leunca!" sebuah suara menengahi diskusi kami. Oh, ternyata ada tiga petani muda sedang istirahat sekitar 10 m dari kami.
Melewati lembah sawah yang sedang dibajak dua kerbau, kami mengarah ke timur dengan kenaikan bertahap 31 m sejauh 1.840 m sampai tepi hutan. Sempat mampir di rumah Pak Husni, rumah terakhir di sepanjang punggung bukit di Desa Cimande Jaya, Kampung Bangreung, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor ini. Di halaman ada kuburan Mbah Bangreung, yang dipercaya sebagai orang suci asal Kudus yang meninggal 50 - 200 tahun lalu.
Menurut keluarga ini, ternyata setiap minggu rata-rata ada kelompok kecil penikmat alam yang melintas di sini, entah menggunakan peta Alex atau tidak. Wah, ada peluang buka warung kecil untuk pemuas dahaga para pelancong dong?
"Mau saja kalau dikasih modal," kata Bu Husni yang sebelumnya curhat soal bantuan langsung tunai (BLT) sebagai imbal pengurangan subsidi BBM dan tabung gas 3 kg program konversi minyak tanah yang belum juga didapat sembari mengerling Alex. Yang dikerlingi hanya tertawa kecil mengelak. "Usaha sendiri saja, Bu. Tak usah banyak dulu, Rp 50.000,- saja untuk beberapa botol minuman dan makanan kecil."
Di seberang tampak rumah-rumah di punggungan Desa Leuwisapi. Kebetulan ada daun pakis yang melengkung setengah lingkaran sempurna hingga dua rumah di seberang tampak bagai dibingkai. Menarik.
How low can you go?
Ada jalan batu di antara belukar yang dibangun seiring dibukanya perkebunan teh pada masa Hindia Belanda. Lembab, sejuk, dan segar, sisa hujan kemarin. Perjalanan takkan meletihkan dan bekal seliter air minum rasanya cukup sampai akhir perjalanan. Harap-harap hujan tak mengiringi perjalanan kami, meski kami sudah siap dengan ransel kedap air, jas hujan dan payung. Kami sampai hutan Titik A (711 m dpl).
Dari sini menanjak perlahan sampai 257 m dpl ke timur tenggara sejauh 2.094 m. Di antara hutan pinus Perhutani dan hutan hujan banyak pakis, paku-pakuan, daun jongkok, pandan duri (Pandanus furcatus), dan jahe-jahean (Amomum cocineum) dengan bunga cantiknya yang seolah tumbuh dari tanah.
Sayangnya tiada fauna macam monyet ekor panjang, tupai, dan burung yang tampak. Hanya kupu-kupu dan capung jarum dengan warna kombinasi biru, merah, dan kuning nan cantik menemani. Sempat muncul kegaduhan ketika di ranting di atas kami ada setumpuk ulat bulu besar hitam jingga! Kena bulunya kita pasti gatal-gatal, tapi kalau sudah metamorfosis jadi kupu-kupu pasti cantik sekali.
Sesekali berpapasan dengan penduduk yang membawa hasil bumi dan kayu bakar. Perjumpaan yang menyenangkan. Setidaknya kami tak cuma bertiga di sini.
Capek juga ternyata. Ketika sampai di tanah datar terbuka, kami pun beristirahat. Sembari minum dan menyantap pastel yang dibawakan Alex, saya membuka peta untuk mencocokkan tempat kami berada sekarang. Kami di Titik B, 968 m dpl, yang disebut Alex titik balik, dari menanjak ke menurun yang akan berakhir di titik berangkat lagi.
Kami sempat "tersesat" seolah tiba di hutan dengan dua setapak di arah depan dan kanan yang sudah lama tak dilewati, dirimbuni pohon. Hal pertama yang harus diingat, "Jangan panik!" kata Alex sambil melihat lagi GPS-nya. "Benar kok, kita harus lurus." Karena tak membawa golok pembabat tanaman, dengan hati-hati kami mengangkat sulur rotan berduri itu.
Untung tinggi saya tak lebih dari 1,5 m, tak mesti sepayah Alex yang mesti berjibaku how low can you go? Tapi kegembiraan saya tak lama, karena kemudian di setapak menurun bertahap 225 m ke barat, barat-laut sejauh 1.610 m, sayalah yang mesti lama berpayah-payah. Dengan jalan setapak lembab, ketika landai saya memposisikan badan miring hingga bila tergelincir masih bisa tertahan, dan di turunan berundak yang agak tinggi, saya lebih suka ngelesot dengan korban pantat celana berlepotan tanah basah. Biarlah, daripada terguling-guling ke bawah.
Saya menarik napas lega ketika akhirnya sampai di tempat datar yang ditumbuhi pohon salak dan rotan sampai bertemu punggungan bercabang. Kami lalu mengambil arah ke kampung, melewati kebun sayur yang merambah puncak bukit di 785 mdpl. Jalan setapak kembali hanya cukup untuk satu orang dan begitu gembur.
Sebelah kiri punggung bukit, sebelah kanan lembah! Akhirnya kami sampai di dataran bersawah menghijau dan pematang berkelak-kelok cantik. Setelah berbelok kiri sampailah di tepi Ci Mande.
Ada serumpun bunga terompet biru kecil-kecil. Emshol membantu Alex yang mencabut sebatang pohon untuk ditanam di vila organiknya di kaki Gunung Salak. Kini kami bersiap menyeberang sungai berbatu tak berjembatan itu. Saya masukkan kamera ke ransel kedap air. Alex yang berbekal tongkat saja sempat hampir terpeleset.
Warung, warung!
Kami beristirahat di sisi kandang kambing dekat jalan setapak rumah penduduk. Sesekali membalas sapaan penduduk yang melintas, "Punten ... mangga." Seorang petani dengan seember kecil berisi urea menawarkan kami singgah di rumahnya yang terletak persis di tepi pematang sembari minum teh. Kami tolak dengan sopan. Emshol membantu lagi Alex yang terlupa meninggalkan batang bunga terompet di tepi sungai. Ransel Emshol yang ia titipkan ke saya kok berat sekali. Ternyata bekal minum 1 L-nya masih utuh, sementara punya saya sudah habis.
Kami melintasi Kampung Leuwisapi dengan 10 rumah terpencar dan sebuah Majelis Ta'lim Madrasah Diniyah Desa Lemah Duhur yang tadi kami lihat di seberang Bangreung. Setelah itu sawah lagi, menyusuri jalan sampai akhirnya tiba di Titik C. Dari sana jalan ke kanan kami menapak jalan semen di ketinggian 713 mdpl.
Sempat melewati kolam ikan dan masjid. Di tiap kelompok rumah ada warung kecil. Namun tak ada yang menjual minuman botolan sebab tidak laku. Kebanyakan menjual rencengan jajanan anak-anak Rp 100,- per bungkus! Dengan Rp 2.000,- saja sudah cukup untuk berakrab-akrab dengan anak-anak desa yang menyapa kami dengan ramah.
Kami tiba di rumah tinggal Pak Siron yang terletak di sisi jalan tanah selebar 4 m yang bisa dilalui mobil. Jalan ini tembus ke bagian bawah Leuwisapi ke SD Inpres di Nangleng. Alih-alih mengikuti jalan pintas penghemat jarak 800 m itu, Alex mendaki jalan setapak di seberang rumah, naik turun bukit lagi, sampai akhirnya tiba di Titik D, 757 mdpl.
Di sini kami melihat pertanian organik pepaya dan sayuran yang dipupuk dengan kotoran ayam. Yah, agak saring napas sejenaklah. Kami bertemu petani yang menunjukkan pohon bisbul dan saya sempat mencicipi kapol alias kapulaga. Melewati punggungan lagi dengan lembah Cikutu di kiri dan Gunung Salak di Barat, kami berjalan di antara rimbunan pohon pinus dan menyeberangi kali yang kerap kering sampai tiba Titik E (712 mdpl). Dengan melipir ladang, kami pun kembali ke titik permulaan di warung Ibu Pipi.
Untunglah, walau di satu jam terakhir sudah sempat terdengar geludug menjelang hujan, kami tak perlu sampai membuka payung dan mengenakan jas hujan. Tiada letih dan pegal di kaki. Perjalanan empat jam ini menyenangkan. Ingin rasanya segera menjadwalkan jalur lainnya yang lebih panjang dan menantang. (Christantiowati/Intisari Juli 2008)
Puncak Trek Map Series
Di sela tugasnya sebagai konsultan BPS di Jakarta pada kurun 1991 - 1997, Alex Korns berakhir pekan mengelilingi Gede-Pangrango. Bersama teman-teman orang Indonesia, Alex menikmati keramahan penduduk saat menjalani ring route 140 km yang bisa ditempuh selama 14 hari jalan santai ini. Setelah lima kali mengelilingi kaki gunung kembar ini, Alex ingin tahu apakah jalur ini akan menarik minat orang Indonesia.
Pada 1997, gagasan membuat seri peta jalur kaki gunung ini disambut sejumlah alumnus dan mahasiswa Jurusan Geografi UI. Kelompok yang awalnya membentuk Klub Kitar Gunung ini pada 2003 menjelma menjadi LSM Wahana Informasi Pariwisata Alam (WIPA) yang akhirnya pada 2007 berhasil menerbitkan empat buku panduan dan peta jalur Ciawi, Cisarua, Cipanas, dan Cugenang, dari delapan jalur yang sudah diselesaikan.
Seri ini bisa didapatkan di toko-toko buku terkemuka - Aksara, Kinokuniya, QB World Books, atau pesan langsung lewat situs www.puncaktrek.com.