Membaca Masa Lalu Di Museum Gedong Kirtya

Agus Surono

Editor

Membaca Masa Lalu Di Museum Gedong Kirtya
Membaca Masa Lalu Di Museum Gedong Kirtya

Intisari-Online.com - Bicara soal lontar kita akan teringat dua hal: buah dan naskah. Buah lontar kita temui saat puasa atau dijajakan di pinggir jalan dekat perumahan atau sekolah. Sementara naskah, kita mesti menjumpainya di museum. Salah satunya di Museum Gedong Kirtya, Buleleng.

Kabupaten Buleleng memiliki luas hampir sepertiga wilayah Pulau Bali. Pemandangan alam berupa bukit dan pantai terhampar dari bagian barat sampai timur. Perpaduan ini menyelaraskan tradisi dan kebudayaan yang dimiliki. Sehingga, Kabupaten Buleleng layak untuk dikunjungi sebagai salah satu tempat eksplorasi wisata yang belum dikenal secara luas.

Kabupaten Buleleng dengan Ibu Kota Singaraja ini bukan saja menyimpan budaya lokal yang tertanam dari seorang Raja Buleleng yang bernama I Gusti Putu Jelantik di masa Hindia Belanda. Melalui sebuah museum, berbagai cerita dan sejarah tersimpan dalam kenangan masa lampau.

Nah, di Museum Gedong Kirtya inilah tersimpan warisan leluhur secara turun temurun di Bali. Naskah-naskah dalam bentuk lontar atau Pustaka Lontar tersimpan baik di gedung ini.

Museum yang memiliki luas lahan sekitar 300 meter persegi ini tampak usang. Berdiri pada tanggal 2 Juni 1928 dan mulai dibuka untuk umum pada tanggal 14 September 1928, Museum Gedong Kirtya berada di kawasan perkotaan. Tepatnya di Jalan Veteran No. 20, Singaraja, tidak jauh dari Kantor Bupati Buleleng berada. Jika kita datang dari Pantai Lovina, hanya berjarak 10 kilometer ke arah timur.

Dari luar akan tampak bangunan arsitektur kuno. Sekilas, seperti bangunan tak berpenghuni tanpa adanya unsur kemewahan, sangat sederhana. Padahal, di sini ada ribuan koleksi lontar yang tersimpan rapi dalam kotak yang disebut keropak yang panjangnya sekitar 60 centimeter.

Semua tersusun rapi berdasarkan kelompok atau klasifikasi. Barisan paling atas Lontar Sasak, isinya tentang budaya Sasak. Kemudian Matrastawa (mantra/puja/weda), Niticastra (etik), Wariga (astronomi dan astrologi), Tutur (petuah), Usadha (pengobatan tradisional), Geguritan (kidung), Babad Pamancangah (sejarah), Satua (cerita rakyat). Semua lontar berbahasa Jawa kuno dan Sansekerta. Cuma, dalam Lontar Satua hanya menggunakan bahasa Bali.

Areal museum ini terbagi menjadi empat ruangan. Ruang 1 menyimpan lontar atau buku tua; Ruang 2 tempat salinan lontar; Ruang 3 tempat administrasi; dan Ruang 4 sebagai tempat pameran.

Pengunjung bebas melihat semua bentuk lontar. Petugas memberi sambutan kepada setiap pengunjung yang datang, baik lokal maupun domestik. Wisatawan diperlihatkan bentuk lontar dan diceritakan dari isi tersebut yang tertulis dalam bahasa Sansekerta.

"Ini menceritakan tentang Rerajahan, orang yang suka menjaga diri akan menulis beberapa mantram dan gambar, lalu disimpan dalam tubuhnya. Agar mau hidup harus di Pasupati dulu, tidak secara langsung dapat digunakan," ungkap Ni Made Sukeranis, salah satu petugas museum sambil menunjuk salah satu bentuk lontar yang ada di atas meja.

Setiap wisatawan asing yang datang berkunjung juga dijelaskan tentang isi dari lontar tersebut. Di sini ada petugas yang khusus mendampingi wisatawan asing untuk menerjemahkan lontar dalam bahasa Inggris.

Kebanyakan wisatawan bertanya tentang isi dan tahun pembuatan lontar, karena di sini semua lontar diberi judul menggunakan bahasa Bali. Mereka akan dipertunjukan beberapa contoh yang sering dibaca oleh pengunjung lainnya, seperti tentang Wariga (astronomi dan astrologi) dan Usadha (pengobatan tradisional).

Semua bentuk lontar ini tersimpan di ruang satu. Selain lontar juga ada berbagai macam bentuk buku tua dan kamus tua. “Kebanyakan buku tua ini berbahasa Kawi dan Belanda,“ imbuh Sukeranis.

Sukeranis menjelaskan, kebanyakan wisatawan asing yang datang berasal dari negara Belanda. Museum yang sebelumnya dikenal dengan nama "Kirtya Liefrinck Van der Tuuk" buka setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 08.00 hingga 16.00. Kecuali hari Jumat hanya buka sampai pukul 13.00. Pengunjung tidak dipungut biaya sepeser pun. (Eka Juni Artawan/Kompas.com)