Nikmatnya Tersesat di Hutan Mangrove

Agus Surono

Editor

Nikmatnya Tersesat di Hutan Mangrove
Nikmatnya Tersesat di Hutan Mangrove

Intisari-Online.com - Baru sekarang saya percaya jargon "sengsara membawa nikmat". Tak berhasil menemukan sebuah alamat, eh malah nyasar ke hutan mangrove di Kota Denpasar. Tapi, datanglah kemudian nikmatnya. Pemandangan di hutan bakau itu ternyata indah banget. Bak pangeran melihat putri duyung, saya langsung jatuh cinta.

Padahal, sumpah mati, saya bukan orang yang mudah jatuh cinta. Hutan mangrove sebenarnya bukan pemandangan aneh. Namun, ada nilai lebih yang dimiliki kawasan hutan bakau di Suwung, Denpasar ini. Di sini, kata hutan yang berkonotasi kotor, menakutkan, menjijikkan, disulap menjadi lokasi ekowisata yang, sim salabim, menawarkan sejuta kesenangan.

Cukup dengan menelusuri trail (sejenis jembatan pancang berpondasi di bawah permukaan air, lebarnya antara 1 – 2 m) sepanjang 2,5 km (pergi - pulang), saya sudah bisa "berkeliling" kawasan seluas hampir 1.400 ha itu. Pada jarak tertentu, berdiri hut (rumah peristirahatan terbuat dari kayu) buat pengunjung yang kecapaian. Bisa dipakai buat tidur-tiduran, memandangi burung-burung yang beterbangan, atau sekadar menikmati asmosfer hutan bakau nan menawan.

Kapan lagi bisa bersenang-senang di tengah hutan, tanpa sepatu boot dan tanpa rasa takut diterkam harimau?

Gardu kerajaan

Hutan bakau Suwung bisa dicapai dari Jln. By Pass Ngurah Rai. Jalan masuknya (sekitar 500 m) sudah beraspal mulus. Sesampai di depan gerbang hutan, saya sempat tertegun dan berdiri sebentar di muka sebuah papan peringatan kecil bertuliskan: Hati-hati Biawak!

"Jadi, tempat ini banyak biawaknya?" tanya saya pada seorang staf pengelola. Yang ditanya malah senyum penuh arti. "Oalaah, mudah-mudahan dia enggak tahu saya takut biawak," batin saya.

Kala itu, angin sore mulai rajin menerpa wajah. Lembut dan sejuk terasa di kulit. Sejurus kemudian, saya sudah sampai di "jalan utama" selebar 2 m yang dinamai Mucronata Trail. Suasana begitu senyap. Sambil melangkah, saya berpikir, apa yang harus dilakukan jika tiba-tiba ada biawak menghadang? Beruntung, belum sempat menemukan jawaban, terdengar tawa canda pengunjung nun jauh di depan. Kelihatannya rombongan mahasiswa yang sedang berdarmawisata.

Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, tampak sedang beristirahat di Purple Heron Hut, rumah kayu berlantai dua, sekitar 400 m dari pintu masuk. Saya jadi ingat perkataan Arief Mahmud, Training Program Counterpart Pusat Informasi Mangrove di kantornya, tak jauh dari lokasi ekowisata. "Agar suasana tidak hiruk-pikuk, pengunjung diminta antre atau masuk bergantian. Kalau berombongan, dipecah dalam beberapa kelompok. Masing-masing didampingi seorang pemandu," bilang Arief.

Makin cepat saya melangkah, kian jelas keberadaan mereka. "Ternyata hutan bakau banyak manfaatnya, ya," ujar seorang mahasiswi berwajah sendu. "Ya, tapi kalau malam, tempat ini pasti seram," sahut kawannya, cowok berambut gondrong. Pemandu mereka mengiyakan, lalu bercerita tentang seorang pengunjung yang "berdarmawisata" di malam hari. Pengunjung nekat itu akhirnya lari terbirit-birit, setelah melihat "penampakan".

"Benar?" konfirmasi si mahasiswa. "Entah. Saya 'kan cuma dengar ceritanya," aku si pemandu. Ada-ada saja.

Dari Purple Horn Hut, saya harus melanjutkan perjalanan melewati Thespesia Trail, Aegiceras Trail, Sonneratia Trail, dan berakhir di Tern Hut. Total jarak dari Horn Hut ke Tern Hut kira-kira 600-an meter. Rute Aegiceras Trail - Tern Hut, yang panjangnya sekitar 500 m, merupakan rute mengasyikkan. Lebar trail-nya sekitar semeter, dengan pemandangan menakjubkan. Mangrove berukuran raksasa dengan akar yang berotot siap menyapa pengunjung, lewat daun dan batang kecilnya yang melambai-lambai, menjorok ke trail.

Melihat pemandangan seperti itu, hilang sudah kekhawatiran soal biawak dan cerita "penampakan". Apalagi di ujung jembatan setapak itu telah menanti Tern Hut, pondok peristirahatan yang langsung menghadap laut lepas, persisnya pelabuhan Benoa. Tern Hut ini lebih mirip gardu jaga perbatasan dua kerajaan. Kerajaan hutan mangrove dan kerajaan laut lepas. Sulit melukiskan indahnya pemandangan di tapal batas ini. Yang pasti, kalau tak diingatkan mentari yang makin dekat ke peraduan, ingin rasanya menghabiskan waktu lebih di sana. Serbuan burung putih

Sungguh tak terbayangkan, hutan bakau yang di banyak tempat kerap disia-siakan, ternyata asyik juga dijadikan daerah tujuan wisata. Sebuah potensi yang mestinya dipikirkan sejak dulu. Apalagi Indonesia pemilik hutan bakau terluas di dunia (sekitar 8,6 juta ha), 7.034,07 ha di antaranya ada di Bali, tersebar di enam kabupaten.

Konservasi dan sosialisasi manfaat ekosistem mangrove tampaknya menjadi tema utama ekowisata Hutan Suwung. Dengan melihat langsung hubungan timbal balik antara unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur nonhayati (tanah dan air), saya jadi mengerti, mengapa hutan bakau harus dipertahankan. "Tanah, air, tumbuhan, ikan, burung, kepiting, dan reptil, hidup saling memberi dan menerima, menciptakan siklus kehidupan yang serasi," sebut Arief.

Tak heran kalau surga mangrove Suwung ini mengoleksi setidaknya 62 jenis burung. Dari lantai dua Purple Horn Hut, aktivitas burung-burung itu bisa dipantau. Namun, pemandangan khas yang saban sore terjadi di langit hutan Sawung adalah berseliwerannya ratusan, bahkan ribuan burung putih, yang biasa disebut little egrett atau Egretta garzetta.

Egrett adalah burung paling populer di antara puluhan anggota spesies Ardeidae. Burung ini sangat cantik, warna tubuhnya putih, kontras dengan kaki dan paruhnya yang legam, plus dua jambul panjang di kepala.

Selain itu, masih ada 10 jenis reptil, termasuk ular dan biawak tentunya. Saya tak punya cukup informasi perihal binatang-binatang "berbahaya" ini. Maklum, papan pengumuman kecil di pintu masuk (yang memperingatkan adanya biawak) saja sudah cukup mengganggu. Apalagi kalau ditambah informasi lebih detail, bisa-bisa saya menyewa tiga guide sekaligus untuk dijadikan pengawal pribadi.

Sebelum pulang, seorang staf pengelola sempat nyeletuk, "Kita menyimpan seekor biawak kecil. Mau lihat, Mas?" ajaknya. "Tentu, tapi lain kali saja ya," jawab saya cepat.

Hutan Suwung, berdasarkan hasil survei, juga memiliki setidaknya 37 jenis ikan, berasal dari 22 famili. Di antara mereka, tampak archerfish (Toxetes jaculatrix) yang berwarna kebirua-biruan dengan mulut rada runcing, puffer (Arothron reticularis) yang badannya bergaris-garis dan berbintik cokelat, serta moonfish (Monodactylus argenteus) yang pasti tak asing lagi buat para penggemar ikan hias. Ikan-ikan tadi bisa dilihat langsung di tengah beningnya air di sekitar akar pohon mangrove.

Sama seperti ikan, kepiting pun bisa diamati langsung dari pinggiran trail. Tak jauh dari tempat beristirahat Wimbrel Hut (sekitar 200 m sebelum Tern Hut), misalnya, terlihat pemandangan unik, kepiting berwarna-warni lalu lalang dalam barisan tak beraturan. Ada yang berwarna merah, hitam, biru, hijau, oranye, coklat, putih, kuning. Setidaknya ada 11 jenis fiddler crabs di hutan ini. Semuanya cantik dan eye catching.

Saya juga jadi tahu, betapa beragamnya ternyata keluarga besar mangrove. Nama-nama trail, tempat peristirahatan dan jembatan di hutan ekowisata ini, seluruhnya diambil dari jenis-jenis tanaman bakau yang berkembang di sini. Minimal ada 13 jenis mangrove mayor (di antaranya Rhyzophora, Sonneratia, Bruguiera, Avicennia, Ceriops), sembilan macam mangrove minor (antara lain Xylocarpus, Aegiceras, Heritiera), serta 28 jenis mangrove associates (semisal Acanthus, Ipomea, Barringtonia, Clerodendrum) bisa disaksikan.

Saya juga mendapat sedikit ilmu proses pembudidayaan tanaman bakau. Mulai pengadaan benih yang dilakukan dengan tangan, langsung dari pohon (sasarannya kulit buah yang berwarna kekuningan, sedikit terbuka dan mudah lepas dari kelopaknya), penyiapan media semai, penyimpanan di bedeng, penyemaian benih (satu pot per benih), pemeliharaan (dinaungi dan disirami di bedeng selama 2 - 3 bulan), hingga pemilihan bibit yang direkomendasikan (tinggi minimal 30 cm, daun minimal 6 helai).

Malam hampir tiba, ketika saya harus keluar hutan. Sepanjang 1 km perjalanan menuju pintu keluar, terbayang sebuah harapan. Andai saja Hutan Suwung bisa menularkan kebajikannya pada hutan sejenis di seantero negeri, berita rusaknya 5,9 juta ha (68%, dari total 8,6 juta ha) hutan mangrove di Indonesia niscaya tak akan terdengar lagi. Mangrove ternyata tak sekadar tumbuhan penahan abrasi, penurun kadar gas CO2 di atmosfer, penahan angin, serta tempat hidup biota laut, dan sejumlah satwa liar.

Dia juga simbol sebuah ekosistem unik, yang keberadaannya bisa sangat, sangat dinikmati. (Muhammad Sulhi/Majalah Intisari Juli 2004)